Oleh: Sumarna
Kepala KUA Kecamatan Karangkancana Kabupaten Kuningan
Sesuai dengan fitrahnya, laki-laki dan perempuan diciptakan berpasang-pasangan untuk hidup tentram, saling mengasihi dan menyayangi dalam ikatan suci pernikahan. Sebagai makhluk yang diciptakan berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan memiliki peran sesuai dengan fitrahnya juga.
Allah mengamanahkan kepada perempuan peran yang sangat mulia, peran yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh laki-laki; dari mengandung, melahirkan, menyusui hingga merawat baik-baik buah hati dari hasil hubungan kasih sayangnya dengan suami. Amanah tersebut bukan merupakan tugas yang ringan, apalagi sepele. Amanah Ini harus dilaksanakan dengan segenap jiwa raga yang paripurna.
Karena itu, sangat adil apabila laki-laki, sebagai pasangan hidup, dibebani tugas lain. Suami memiliki fungsi sebagai pengupaya nafkah dan pemelihara kesejahteraan bagi istri dan anak-anaknya serta keperluan lainnya.
Tugas tersebut bersifat saling mengisi juga melengkapi apa yang dibebankan kepada perempuan. Dengan itu, suami pun mengupayakan segala kebutuhan materi dan batin. Dia harus menciptakan perasaan kenyamanan dan keamanan bagi sang istri untuk menjadi pasangan hidupnya.
Peran suami tersebut dapat membuat istri menjadi lebih mampu berkonsentrasi dalam pelaksanaan tugas beratnya. Dalam mengandung, melahirkan, menyusui hingga merawat anak. Istri pun tanpa harus bersusah payah tak perlu lagi menanggung beban lainnya. Dia tak diwajibkan untuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Pada penghujung QS. Al Baqarah: 228 menjelaskan “… para suami memiliki satu tingkat (kelebihan) di atas istri-istri mereka.” Tingkat kelebihan di sini bukan bermakna tingkat kekuasaan atau kesewenangan dalam rumah tangga.
Menurut Quraish Shihab di dalam Tafsir Al-Misbah, makna (kelebihan) suami atas istrinya dalam ayat tersebut merupakan anugrah Allah yang diberikan kepada suami sebagai bentuk tanggung jawab untuk menjaga dan memelihara keutuhan rumah tangga. Oleh karena itu suami harus adil.
Masih menurut Quraish Shihab, Persamaan hak dan kewajiban suami istri bagi perempuan adalah sebuah prinsip yang belum pernah ada pada bangsa-bangsa sebelum Islam. Pada masa Romawi, istri hanyalah seorang budak di rumah suaminya, hanya mempunyai kewajiban saja tanpa memiliki hak sedikut pun. Begitiu juga di Persia. Islam paling dahulu memperkenalkan prinsip keadilan tersebut. Suami memiliki fungsi sebagai pengupaya nafkah dan pemelihara kesejahteraan bagi istri dan anak-anaknya serta keperluan lainnya.
Di dalam ayat lainnya, Allah SWT pun berfirman, “…Para suami adalah penanggung jawab dan pelaksana kepemimpinan dan pengayoman (dalam istilah Quran: Qawwamun) atas istri-istri mereka berdasarkan beberapa sifat kelebihan tertentu yang Allah berikan kepada sebagian mereka di atas sebagian yang lain (yakni di antara para suami dan istri) dan (juga) berdasarkan nafkah yang diberikan para suami dari harta mereka.. (QS. an-Nisa: 34).
Faqihuddin Abdul Qodir, Dosen Tafsir Hukum Keluarga IAIN Syekh Nur Jati Cirebon dan penulis buku Qira’ah Mubadalah, menjelaskan, bahwa QS. An-Nisa: 34 tersebut bukan sedang menegaskan kepemimpinan atau tanggung jawab laki-laki terhadap perempuan, dengan basis jenis kelamin. Ayat ini sedang berbicara mengenai tuntutan terhadap mereka yang memiliki keutamaan (fadhl) dan harta (nafaqoh) untuk bertanggung jawab menopang mereka yang tidak mampu dan tidak memiliki harta.
Sejalan dengan pendapat Faqihuddin, tidak jarang ditemukan, seorang istri menjadi seorang pemimpin (qawwamah) dalam rumah tangganya. Ketika dia harus memerankan tugas sebagai single parent, karena ditinggal suami yang meninggal dunia atau menceraikannya atau meninggalkannya dalam waktu yang lama dan atau keadaan-keadaan tertentu lainnya, seperti saat suami menderita sakit menahun sehingga tidak mampu menafkahi keluarganya dan bertanggung jawab atas keamanan dan kesejahteraan keluarganya.
Dengan begitu, maqna qowam dalam relasi suami istri, adalah pembagian peran yang adil di dalam rumah tangga antara suami dan istri yang dilandasi oleh rasa saling menghormati, menghargai, ingin melindungi dan saling membahagiakan (mu’asyarah bul ma’ruf/ QS. an-Nisa:19). Secara sederhana, qowam itu bukan siapa berkuasa atas siapa, tapi siapa dapat membantu siapa. Wallahu A’lam.