KOTA CIREBON, (FC).- Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Cirebon resmi meningkatkan penyelidikan dugaan penyimpangan Program Indonesia Pintar (PIP) di SMAN 7 Kota Cirebon ke tahap penyidikan.
Langkah ini diambil setelah tim penyidik menemukan indikasi peristiwa pidana dalam penyaluran bantuan pendidikan tersebut.
“Sampai dengan saat ini, untuk penanganan perkara PIP di SMA Negeri 7 Kota Cirebon, prosesnya sudah ditingkatkan ke tahap penyidikan,” ujar Kasi Intel Kejari Kota Cirebon, Slamet Haryadi, Kamis (10/4).
Meski sudah memasuki tahap penyidikan, Kejari Kota Cirebon belum menetapkan tersangka secara resmi. Namun, menurut Slamet, sejumlah nama calon tersangka telah dikantongi tim penyidik.
“Tim belum menetapkan tersangka, tetapi karena sudah ditemukan indikasi peristiwa hukum, maka prosesnya ditingkatkan ke penyidikan,” jelasnya.
Slamet mengungkapkan, modus yang terungkap dalam kasus ini adalah dugaan pemotongan dana PIP sebesar Rp200 ribu per siswa. Dana tersebut seharusnya diterima secara penuh oleh penerima manfaat di SMAN 7 Kota Cirebon.
“Program yang ditujukan untuk membantu siswa tidak mampu ini justru diduga disalahgunakan oleh oknum tertentu,” ungkapnya.
Selain pihak sekolah, Kejari juga mendalami dugaan keterlibatan Kantor Cabang Dinas (KCD) Pendidikan dalam praktik ini. “KCD sudah dimintai keterangan, namun masih dalam tahap pendalaman,” tambahnya.
Tak hanya itu, penyidik juga tengah menyelidiki peran beberapa pihak luar yang diduga mengatasnamakan partai politik. Bahkan, salah satu ketua partai politik lokal disebut ikut terseret dalam kasus ini.
“Mungkin ada oknum yang menggunakan nama partai, baik pengurus maupun bukan pengurus,” ujar Slamet.
Dalam proses penyidikan, Kejari Kota Cirebon telah memeriksa sekitar 30 orang dari pihak sekolah dan lima orang dari luar. Slamet memastikan jumlah tersebut kemungkinan akan bertambah seiring berjalannya penyidikan.
Namun, ia menegaskan bahwa pihaknya tetap fokus pada aspek hukum dan tidak ingin kasus ini ditarik ke ranah politik.
“Kalau di Kota Cirebon sendiri, terkait dengan partai yang disebut-sebut malah tidak ada. Namun, nanti teman-teman akan tahu sendiri setelah proses berjalan,” imbuhnya.
Sementara, praktisi hukum Kota Cirebon, Furqon Nurzaman menegaskan, jika praktik ini terbukti melanggar aturan, maka berpotensi masuk dalam tindak pidana korupsi (Tipikor).
“Dari sisi hukum, kita bicara fakta. Pemotongan itu harus dilihat dari siapa yang melakukan dan bagaimana mekanismenya,” ujar Furqon.
Ia menjelaskan bahwa penerima PIP ditetapkan melalui tiga jalur, yakni usulan dari Dinas Pendidikan (provinsi, kabupaten, atau kota), pemangku kepentingan, serta hasil aktivasi surat keputusan nominasi. Namun, dana bantuan ini bersifat pribadi dan seharusnya langsung diterima oleh peserta didik tanpa potongan apa pun.
Menurut Furqon, jika terjadi kesepakatan antara orang tua murid dan pihak pengusul, misalnya dari partai politik, maka keduanya bisa dikategorikan turut serta dalam tindak pidana.
“Dana PIP ini diperuntukkan murni untuk operasional pendidikan. Jika ada pemotongan dengan alasan apa pun, itu bisa dianggap penyalahgunaan,” tegasnya.
Furqon mencontohkan kasus di Serang, Banten, di mana pelaku pemotongan dana PIP telah divonis bersalah dalam perkara tindak pidana korupsi, terutama jika melibatkan aparatur sipil negara (ASN).
Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya mengusut tuntas pihak-pihak yang terlibat dalam dugaan kasus di Cirebon.
“Kalau memang ada kesepakatan di awal terkait pemotongan dana, orang tua murid juga harus bertanggung jawab. Tidak bisa hanya menyalahkan satu pihak,” tambahnya.
Selain itu, Furqon menyoroti lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan program PIP.
Ia menilai bahwa pengusul dari pemangku kepentingan sering kali tidak bekerja maksimal, sehingga membuka celah terjadinya pemotongan dengan dalih ‘ucapan terima kasih’.
“Idealnya, tidak boleh ada pemotongan. Dana ini sudah dialokasikan khusus untuk pendidikan. Jika digunakan untuk kepentingan lain, itu jelas bentuk penyalahgunaan,” tegasnya lagi.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa penerima PIP harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan, seperti berasal dari keluarga miskin atau rentan miskin, anak yatim piatu, berpotensi putus sekolah, korban bencana, atau anak dari orang tua yang sedang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan.
“Jika ada penerima yang tidak memenuhi kualifikasi tetapi tetap diusulkan, itu juga bentuk penyalahgunaan yang harus diusut tuntas. Dampaknya bisa sangat besar,” pungkasnya. (Agus)
Discussion about this post