Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat atau pemilih menggunakan hak serta menentukan pilihan politiknya terhadap mereka yang akan menduduki jabatan politik tertentu baik eksekutif maupun legislatif.
Pemilihan Umum merupakan conditio sine quanon bagi suatu negara demokrasi modern.Artinya rakyat memilih seseorang untuk mewakilinya dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.Sebagai konsekuensi logis dianutnya prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam konteks manusia sebagai individu warga negara, maka pemilihan umum berarti proses penyerahan sementara hak politiknya sebagai hak berdaulat untuk turut serta menjalankan penyelenggaraan negara.
Tahapan penyelenggaraan pemilu serentak dimulai pada tanggal 14 Juni 2022 sampai pada hari pemungutan suara 14 Februari 2024 dengan rekapitulasi anggaran sebesar 76,6 triliun.Kemudian akan disusul penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah serentak pada bulan November 2024.Penulis berharap semoga kedua agenda nasional tersebut terselenggara dengan baik dan menghasilkan produk demokrasi substantif yang berkualitas.
Sejak abad ke 17 keberadaan hak politik sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) mencakup hak pilih telah dijamin.Yaitu hak memilih (right to vote) dan hak dipilih (right to be candidate) sebagaimana termaktub dalam pasal 25 Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR).
Merupakan hak partisipasi yang dijamin oleh konstitusi dan diatur pelaksanaannya dalam Pasal 450 Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.Maka pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia.Sebagaimana tertera pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004.
Begitupula dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 102/PUU-VII/2009, pada waktu itu beberapa pimpinan partai politik mengemukakan data adanya 49 juta warga yang tidak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap dan menjadi masalah konstitusional.Maka undang-undang no. 42 tahun 2008 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden di judicial review karena diduga telah melanggar hak konstitusional warga negara.
Hak Memilih Sebagai HAM
Demi kepastian hukum untuk terpenuhinya hak partisipasi masyarakat dalam kontestasi pemilu tahun 2024, maka isu-isu terkait kompleksitas pemilu, harus segera diurai melalui mekanisme atau instrumen pemilu lainnya.Sehingga memberikan landasan hukum yang jelas dan kuat untuk penyelenggaraan pemilu yang transparan dan akuntabel.
Diantara isu-isu tersebut antara lain: Kerumitan pemilih dalam mencoblos lima surat suara secara bersamaan dengan harapan terjadi efisiensi dari segi waktu demi memenuhi hak warga negara untuk memilih secara cerdas.
Munculnya politik identitas, ujaran kebencian dan politik uang yang dapat mengganggu secara politik maupun teknis penyelenggaraan menuju pemilu bersih, demokratis dan damai.Hak memilih dan dipilih merupakan hak konstitusional setiap warga negara yang merupakan HAM sebagaimana dikualifisir pada Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945.Menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.Bahkan sebelum hak memilih dituangkan kedalam perubahan kedua UUD NRI 1945 pada tahun 2000 lalu.
Secara operasional telah dikukuhkan pada pasal 3 ayat (1) Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.Bahwa “setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Pemilu Bermartabat
Sebagai bangsa besar yang beradab, Indonesia terdiri dari perbedaan golongan, suku, bahasa dan budaya kemudian menyatukan diri dalam satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa.Indonesia sebagai negara plural, berbeda tetapi satu jua. Sejatinya penyelenggaraan pemilu tidak hanya fokus pada pelaksanaan teknis kepemiluan semata.Namun harus dilihat secara komprehensif dari hulu sampai ke hilir, sehingga esensi nilai demokrasi, ketuhanan dan persatuan dapat terwujud.
Meningkatkan derajat kepemiluan yang berkeadilan dari pemilu ke pemilu berikutnya adalah sebuah keniscayaan.Tentu dengan menghormati supremasi hukum dan penegakan kode etik bagi penyelenggara pemilu untuk menghindari seremonial demokrasi prosedural belaka. Boleh berkontestasi dengan tetap mengedepankan nilai-nilai kemanusian, nilai-nilai persatuan dan tidak mengkhianati suara rakyat.
Abstraksi nilai harus ditindaklanjuti dengan perbuatan nyata. Penyelenggara menindaklanjutinya dengan meletakkan pikiran-pikiran dasar, terus mengingat, memelihara dan meneguhkan kode etik.Serta melakukan tindakan-tindakan konkrit bagi para peserta, kontestan dan semua komponen dalam pemilu.
Penyelenggara pemilu harus memegang prinsip-prinsip etika, menjaga hak-hak individu warga negara, jujur dan imparsial sebagai pijakan moral dalam memastikan terselenggaranya pemilu yang bermartabat dan berkeadilan demi terciptanya negara hukum demokratis yang berkesejahteraan.***
Oleh: Achmad Salim
(Ketua Qohuwa Buntet Pesantren)