Oleh: Alan Barok Ulumudin
(Akademi, Pemilu dan Demokrasi)
Kelas menengah memiliki peran yang signifikan dalam perkembangan ekonomi dan politik suatu negara, termasuk Indonesia.
Dalam konteks ekonomi, kelas menengah sering kali dianggap sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi karena kontribusinya terhadap konsumsi domestik, yang menjadi tulang punggung bagi stabilitas ekonomi nasional.
Menurut Chatib Basri, mantan Menteri Keuangan Indonesia, kelas menengah juga memiliki potensi besar dalam menjaga kestabilan ekonomi melalui partisipasi aktif di sektor-sektor strategis seperti UMKM, perdagangan, dan inovasi teknologi.
Namun, kelas menengah di Indonesia, termasuk di daerah-daerah seperti Majalengka, masih rentan terhadap perubahan ekonomi global, inflasi, dan ketidakpastian pasar.
Dari perspektif politik, kelas menengah sering kali menjadi penentu stabilitas politik di banyak negara. Ketika kondisi ekonomi kelas menengah terjamin, mereka cenderung menjadi pilar utama dalam menjaga harmoni sosial dan stabilitas politik.
Namun, ketika kesejahteraan kelas menengah terancam, sering terjadi peningkatan ketidakpuasan sosial yang dapat memicu gejolak politik.
Situasi ini terlihat jelas di berbagai negara berkembang yang mengalami middle-income trap atau jebakan kelas menengah, di mana ekonomi negara mengalami stagnasi, dan kelas menengah tidak lagi bisa bergerak naik menuju level kesejahteraan yang lebih tinggi.
Dalam konteks Majalengka, kelas menengah terdiri dari pelaku UMKM, pengusaha kecil, tenaga kerja profesional, serta petani dan pengrajin yang mulai bergerak ke arah modernisasi.
Mereka berperan sebagai mesin penggerak ekonomi lokal yang memiliki kontribusi besar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Majalengka.
Namun, kelas menengah di Majalengka juga sangat rentan terhadap perubahan kebijakan ekonomi yang dikeluarkan di tingkat nasional dan global.
Krisis ekonomi global, seperti yang terjadi pada masa pandemi COVID-19, sangat berdampak pada stabilitas pendapatan mereka.
Pilkada 2024 di Majalengka menawarkan kesempatan bagi para calon pemimpin daerah untuk merumuskan visi dan misi yang dapat menjawab tantangan-tantangan ini.
Visi ekonomi yang berkelanjutan, inovatif, dan inklusif sangat diperlukan untuk mendorong kelas menengah agar dapat bertahan dan berkembang di tengah arus perubahan global.
Namun, tidak semua visi yang disampaikan oleh calon pemimpin memiliki solusi konkret untuk isu ini.
Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk mengulas secara kritis bagaimana visi dan misi yang ditawarkan oleh kedua pasangan calon Bupati Majalengka dalam Pilkada 2024 dapat atau tidak dapat memberikan solusi bagi tantangan yang dihadapi oleh kelas menengah, khususnya dalam konteks jebakan kelas menengah dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Dalam visi dan misi yang ditawarkan oleh pasangan H.Karna Sobahi dan Koko Suyoko, mereka menekankan pada peningkatan perekonomian daerah dan kualitas sumber daya manusia sebagai inti dari pembangunan. Misi mereka mencakup.
Mewujudkan daya saing ekonomi daerah melalui pertumbuhan ekonomi berkualitas dan berkelanjutan.
Meningkatkan kuantitas, kualitas, dan konektivitas infrastruktur fisik, ekonomi, serta sosial yang mendukung produktivitas masyarakat.
Pasangan ini tampaknya berupaya menjawab tantangan kelas menengah dengan fokus pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan peningkatan daya saing daerah.
Namun, pertanyaan kritis yang muncul adalah, apakah pertumbuhan ini akan mencakup penguatan sektor UMKM yang mendominasi kelas menengah di Majalengka?.
Dalam visi mereka, ada sedikit penekanan pada inovasi teknologi dan digitalisasi UMKM, padahal sektor ini sangat krusial untuk membuat kelas menengah bertahan dalam ketidakpastian ekonomi.
Selain itu, bagaimana kebijakan mereka akan melindungi kelas menengah dari inflasi dan gejolak pasar, yang menjadi masalah utama saat ini.
Di sisi lain, pasangan Eman Suherman – Dena Muhamad Ramdhan juga menyoroti aspek ekonomi dalam misi mereka.
Mereka menawarkan peningkatkan produktivitas dan daya saing ekonomi melalui pembangunan terencana dan inovatif. Meningkatkan kualitas, produktivitas, dan keberlanjutan lingkungan hidup.
Misi ini terlihat lebih fokus pada produktivitas dan inovasi. Namun, kembali lagi, pertanyaan utama adalah bagaimana kebijakan konkret mereka terhadap kelas menengah, khususnya dalam menghadapi jebakan middle-income trap yang ditekankan oleh Chatib Basri.
Meskipun pasangan ini menekankan inovasi, apakah inovasi ini akan mencakup pelatihan keterampilan digital dan akses terhadap teknologi untuk UMKM?, Bagaimana mereka akan mendukung kelas menengah agar tidak hanya menjadi pelaku ekonomi pasif tetapi juga inovator di era digital?.
Kedua pasangan juga mengangkat isu infrastruktur dalam misi mereka. Meskipun infrastruktur fisik penting, kebijakan infrastruktur digital tidak begitu menonjol dalam visi misi mereka.
Padahal, infrastruktur digital sangat penting bagi kelas menengah untuk berpartisipasi dalam ekonomi global yang semakin terhubung. Chatib Basri menyebutkan bahwa tanpa akses yang baik ke teknologi, kelas menengah akan terperangkap dalam kondisi stagnan.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kedua pasangan menekankan pentingnya infrastruktur, ada kekosongan dalam fokus terhadap infrastruktur digital yang relevan bagi pengembangan kelas menengah.
Dari analisis visi dan misi kedua pasangan calon Bupati Majalengka, dapat dilihat bahwa fokus pada pertumbuhan ekonomi dan daya saing memang ada, namun masih terdapat beberapa celah yang kritis terkait dengan kebutuhan kelas menengah.
Seperti yang diungkapkan oleh Chatib Basri, kelas menengah perlu mendapatkan perhatian lebih dalam hal inovasi, digitalisasi, dan akses terhadap teknologi untuk memastikan mereka dapat bertahan dan berkembang di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Kedua pasangan calon perlu memperjelas kebijakan konkret mereka terhadap kelas menengah, terutama bagaimana mereka akan mendorong UMKM, melindungi pekerja kelas menengah dari ketidakpastian, dan memastikan infrastruktur digital tersedia dan dapat diakses.
Tanpa solusi yang jelas, visi ekonomi ini bisa berakhir sebagai sekadar janji politik tanpa dampak nyata bagi kelas menengah di Majalengka.( dan Demokrasi***