Oleh: Endang Kurnia
Direktur Madani Private Learning Indramayu
Di tengah ketidakpastian kapan pandemi Covid-19 berakhir, dunia juga sedang dirundung masalah resesi demokrasi. Lembaga Think Tank Freedom House dalam laporan terbarunya (2020), menyatakan 25 dari 41 negara demokrasi yang mapan sekalipun, tak terkecuali Indonesia, tengah mengalami kemerosotan demokrasi selama 14 tahun berturut-turut.
Di Indonesia, merujuk hasil penelitian The Economist Intelligence Unit, indeks demokrasinya bahkan turun tiga tahun berturutturut. Pada 2016, Indonesia masih menempati peringkat ke-48 dari 167 negara yang diteliti.
Kini, peringkat demokrasi Indonesia justru melorot ke peringkat 64 dengan skor hanya 6,39. Ini berarti, kita telah terperosok dalam peringkat paling dasar kategori flawed democracies (negara demokrasi yang cacat). Dalam temuan lembaga pemeringkat demokrasi kenamaan itu, kecenderungan ringkihnya demokrasi kita dipicu oleh tergerusnya kebebasan politik dan masalah budaya politik, terutama menguatnya kecenderungan oligarki.
Jika mencermati realitas politik yang menguat belakangan ini, menunjukkan betapa praktik demokrasi kita memang mengidap anomali. Menyangkut persoalan kebebasan politik, misalnya, terefleksi dari maraknya kasus peretasan media hingga praktik persekusi terhadap kalangan civil society.
Berdasarkan data Southeast Asia Freedom of Expreession Network, selama Mei-Juni 2020, menunjukkan terdapat 23 kasus serangan digital kepada media, jurnalis, hingga masyarakat sipil. Fenomena peretasan terhadap media, diduga kuat memiliki kaitan erat dengan sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah terkait penanganan pandemi Covid-19.
Bagaimanapun, tindakan peretasan media adalah bentuk ìvandalisme politik” yang merusak prinsip demokrasi sekaligus merampas hak azasi manusia. Karena, selain mengancam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi, juga menutup hak publik terhadap paltform (berita).
Kekuasaan Oligarki
Tak bisa disangkal, salah satu ancaman besar dalam praktik demokrasi di Indonesia pascareformasi, adalah makin menguatnya tendensi politik oligarki. Dalam penyelenggaraan pilkada serentak, misalnya, praktik oligarki itu direfleksikan oleh fenomena makin bertambahnya kehadiran “bumbung kosong” alias calon tunggal. Sebagai komparasi, pada pilkada serentak 2015, hanya terdapat 3 pasangan calon tunggal (paslon).
Pilkada serentak 2017, paslon tunggalnya bertambah menjadi 9. Pilkada serentak 2018, bertambah lagi: 16 paslon tunggal. Kemudian, pada pilkada serentak 2020, dari 270 pilkada, diperkirakan 31 pilkada berpotensi melahirkan paslon tunggal. Fenomena kehadiran paslon tunggal, jelas tidak sehat bagi pembangunan demokrasi.
Masalahnya, dimensi kontestasi politik, terutama menyangkut kontes pertarungan ide dan gagasan antarcalon, menjadi hilang. Akibatnya, tanpa figur calon lebih dari satu, rakyat tak punya banyak pilihan yang kompetitif. Dampak buruk lainnya, akan melemahkan pelembagaan di tubuh partai.
Dapat dipastikan, karena pertimbangan pragmatis, partai-partai akan bertumpuk dalam satu dukungan ke petahana ataupun kandidat yang memiliki modal besar dalam kandidasi sehingga menyebabkan macetnya proses kaderisasi. Lantas, apa yang memicu kehadiran paslon tunggal makin meningkat ? Penyebabnya, salah satunya karena kultur politik kita, yang masih lekat dengan “praktik klientelisme”.
Dalam studi Edward Aspinal dan Ward Barenscot berjudul Democacy for Sale, klientelisme didefinisikan sebagai model relasi kekuasaan yang dibentuk lebih karena pertukaran sumber daya material semata. Jadi, tak heran apabila dalam setiap perhelatan pilkada serentak, perilaku transaksional itu mengemuka.
Untuk memobilisasi dukungan, baik mendapatkan dukungan partai sebagai syarat pencalonan hingga memenangkan kontestasi, memakan biaya yang besar. Dalam situasi inilah, praktik oligarki makin menguat. Sebabnya, catat Jeffery Winters, karena ketimpangan penguasaan sumber daya material di antara masing-masing calon.
Bagi kandidat yang memiliki sumber pendanaan tak terbatas, berpotensi memborong semua partai. Dalam perspektif inilah, mengapa kehadiran paslon tunggal banyak didominasi elite-elite yang, selain mengandalkan pendekataan kekayaan, juga memiliki akses pada sumber pendanaan yang melimpah.
Selain bersandar pada regulasi KPU, kita juga meminta Bawaslu menyiapkan aturan-aturan yang memungkinkan pilkada berlangsung sehat dan aman. Bawaslu memang kemudian mengusulkan para bakal pasangan calon menandatangani pakta integritas protokol kesehatan. Dengan kata lain, kepatuhan pada protokol kesehatan, tak bisa ditawar-tawar lagi. Sanksinya pun harus tegas. Tak patuh pada protokol kesehatan ya didiskualifikasi. Jangan tebang pilih. Jangan sampai petahana boleh tak patuh, tetapi kompetitor baru dilarang dengan aneka aturan.
Apakah pilkada dengan kepatuhan tinggi terhadap protokol kesehatan akan mengurangi hakikat pesta demokrasi? Tentu saja tidak. Kita tak mungkin mengorbankan rakyat untuk berkerumun dalam pendaftaran, penetapan nomor, debat, dan pengumuman hasil pilkada. Kita jangan sampai menjerumuskan rakyat ke dalam amuk Covid-19. Jika itu kita lakukan, antara lain mengajak mereka berkerumun, sungguh demi politik kita tak punya adab hidup yang baik lagi. Tak ada cara lain: mari bikin pilkada menjadi pesta demokrasi yang sehat dan aman.