MAJALENGKA,(FC). – Embun masih menempel di ujung dedaunan ketika satu per satu sosok renta mulai tampak di jalan tanah Kampung Blok Kaputren, Desa Putridalem, Kecamatan Jatitujuh, Majalengka. Jumat pagi itu bukan pagi biasa.
Langkah-langkah kecil dengan irama pelan menyusuri pematang, mengenakan pakaian yang tak seragam tapi penuh kesungguhan.
Seorang nenek datang memakai daster biru yang sudah mulai memudar warnanya.
Di lehernya tergantung papan nama dari karton bekas bertuliskan “Carti” tanda bahwa ia kini adalah murid.
Tak jauh darinya, nenek-nenek berkerudung sederhana tampak tersenyum malu-malu, menggenggam buku tulis dan pulpen sumbangan.
Hari itu, mereka bukan datang untuk menghadiri hajatan atau menjemput cucu dari sekolah.
Mereka datang sebagai pelajar, untuk menimba ilmu.
Bukan sekolah formal, melainkan ruang belajar komunitas yang didirikan oleh Amin Halimin, seorang pegiat budaya yang sejak lama gelisah melihat warga lansia terpinggirkan dari dunia pendidikan.
“Saya tak menyangka, sebanyak ini yang datang. Mereka datang sendiri, ingin belajar, ingin tahu,” tutur Amin, Sabtu (3/5).
Puluhan lansia mayoritas berusia di atas 60 tahun, memenuhi pelataran sekolah yang berlantaikan tanah dan beratapkan seng.
Tak ada papan tulis besar atau bangku modern, tapi ada semangat belajar yang menular dari wajah-wajah tua yang menolak menyerah.
“Kami belum terlambat,” ucap Yeyeng (73), sembari merapikan kerudung tuanya setelah sesi belajar berakhir.
Sekolah Kampung lahir dari kesadaran bahwa belajar adalah kebutuhan dasar, bukan milik usia muda semata.
Di sini, tak ada kelas berdasarkan umur, tak ada nilai ujian yang menekan. Yang ada adalah ruang untuk tumbuh kembali secara pengetahuan, harga diri, dan relasi sosial.
“Dulu mereka merasa malu membicarakan pendidikan karena tidak pernah merasakannya. Sekarang, mereka dipanggil ‘murid’, dan itu membuat mereka berdiri lebih tegak,” kata Amin.
Materi yang diajarkan pun menyesuaikan dengan kehidupan mereka: membaca, menulis, berhitung, pengenalan kesehatan, alam sekitar, hingga bahasa asing.
Uniknya, para mantan TKW dilibatkan sebagai pengajar bahasa Arab, Mandarin, dan Inggris menjadikan pengalaman hidup sebagai jembatan pengetahuan lintas generasi.
“Biar mereka tahu dunia itu luas, dan mereka tetap bisa mengenalnya meski dari sini,” ujarnya.
Di antara wajah-wajah sepuh yang memenuhi pelataran Sekolah Kampung, ada cerita-cerita yang selama ini tersimpan rapat dalam hati.
Cerita tentang keinginan belajar yang tertunda, tentang masa kecil yang harus dikorbankan demi membantu orang tua, dan tentang mimpi yang akhirnya berani tumbuh di usia senja.
Carti (70), mengenakan daster batik dan kerudung ungu tua, adalah salah satu murid yang paling antusias hari itu. Ia datang lebih awal, membawa tas plastik berisi buku tulis dan pena.
“Dulu saya cuma bisa lihat anak-anak sekolah dari kejauhan. Saya bantu ibu jualan sejak kecil, jadi tak pernah sempat belajar. Sekarang, baru pegang buku begini saja rasanya bangga sekali. Walau cuma belajar huruf A sampai Z, saya senang sekali,” lanjutnya.
Sementara itu, Yeyeng (73), dengan tongkat kecil di tangan dan papan nama di leher berkali-kali tersenyum setiap kali ditanya tentang perasaannya.
Ia mengaku, belajar membaca membuatnya bisa lebih mandiri. Ia ingin suatu hari bisa membaca tulisan di bungkus obat tanpa harus bertanya pada anaknya.
“Senang, betul-betul senang. Di rumah biasanya cuma duduk, nonton TV, kadang ngobrol sama tetangga. Di sini, kami bisa ketawa bareng, belajar bareng. Rasanya muda lagi,” ucapnya.
Sekolah ini diadakan hanya sebulan sekali, setiap Sabtu pagi di minggu pertama. Waktu ini dipilih agar tidak bentrok dengan musim tanam atau pasar. Sambil membawa bekal dari rumah, para siswa duduk bersila di atas tikar anyaman bambu, menunggu giliran diajak membaca.(Munadi)
Discussion about this post