KAB. CIREBON, (FC).- Rokayah, seorang nenek berusia 80 tahun telah menjadi simbol ketekunan dan dedikasi dalam melestarikan tradisi kuliner lokal.
Di balik kesederhanaan hidupnya, tersembunyi kisah perjuangan yang menginspirasi banyak orang, terutama dalam menjaga warisan Apem tradisional yang kini diwariskan kepada putri ke-3 nya, Wastini.
Kepada wartawan koran ini, Rokayah menceritakan awal memulai usaha pembuatan Apem ini sejak suaminya meninggal dunia tahun 1970-an.
Untuk memulai usaha tersebut bahkan dirinya sempat merantau ke Arab Saudi guna mencari modal.
Berbekal pengalaman dan keinginan kuat untuk melanjutkan tradisi keluarga, Rokayah akhirnya kembali ke kampung halamannya.
Ia lalu mulai memproduksi Apem yang kala itu menjadi camilan populer di kalangan masyarakat setempat.
Dalam beberapa dekade terakhir, Apem buatan Rokayah menjadi favorit banyak orang.
Seperti di bulan Safar ini, penjualan Apem mencapai puncaknya, dengan jumlah pesanan yang bisa mencapai lebih dari 200 bungkus setiap harinya.
“Alhamdulillah di bulan Safar ini lagi kebanjiran orderan,” kata Rokayah.
Dalam satu bulan, menurutnya, hampir satu kuintal Apem terjual habis. Hal itu menunjukkan betapa kuatnya daya tarik kuliner tradisional ini.
Apem buatan Rokayah ini dijual dengan harga Rp7.500 hingga Rp15 ribu per bungkus.
“Tergantung pesanan. Ada yang isi lima potong atau sepuluh potong,” imbuhnya.
Namun, Apem bukan satu-satunya kue basah yang diproduksi oleh keluarga ini.
Ditambahkan Wastini, yang kini meneruskan usaha ibunya karena kondisi penglihatan Ibu Rokayah yang sudah menurun, juga memproduksi berbagai kue basah lainnya.
Meski demikian, Apem tetap menjadi produk andalan terutama pada bulan Safar, yang menjadikan produksi dan penjualan lebih fokus pada kue tradisional ini.
“Bukan hanya Apem saja yang kami produksi, tapi kue basah lainnya juga kami produksi. Tapi, kebanyakan pesanannya Apem,” terang Wastini.
Salah satu daya tarik utama dari Apem buatan Rokayah dan Wastini adalah penggunaan daun pisang sebagai pembungkus.
Hal ini tidak hanya menambah cita rasa khas pada kue, tetapi juga menjadi pilihan yang lebih ramah lingkungan dibandingkan wadah plastik.
“Konsumen yang setia membeli Apem di kami mengaku bahwa ada perbedaan rasa yang mencolok antara Apem yang dicetak menggunakan daun pisang dengan yang menggunakan cetakan biasa,” kata Wastini.
Dalam perjalanannya selama kurang lebih 50 tahun, usaha Apem keluarga ini terus berkembang.
Bahkan, kini penjualan sudah merambah ke platform online, memungkinkan pesanan dari berbagai wilayah di Indonesia.
Wastini, yang kini menjadi pemilik usaha, dengan bangga mengatakan bahwa penjualan Apem mereka sudah mencapai target nasional, membuktikan bahwa tradisi yang dijaga turun-temurun ini masih relevan dan dicintai oleh banyak orang.
Melalui usaha ini, Rokayah dan Wastini tidak hanya menjaga warisan kuliner tradisional, tetapi juga memberikan inspirasi bahwa dengan tekad dan kerja keras, usaha keluarga bisa berkembang dan bertahan hingga lintas generasi.
“Warisan Apem ini tidak hanya menjadi kenangan manis di lidah, tetapi juga menjadi bukti nyata dari dedikasi dan cinta terhadap tradisi lokal,” pungkasnya. (Fitri/Job/FC)