KAB. CIREBON, (FC).- Kabupaten Cirebon dikenal dengan kaya akan budaya.
Salah satu pusat budaya yang terkenal adalah budaya batiknya yang mempunyai keunikannya tersendiri.
Batik Trusmi merupakan warisan budaya sejak zaman dahulu yang wajib dilestarikan seterusnya.
Namun, seiring berkembangnya zaman, generasi penerus perajin batik atau pembatik di Kabupaten Cirebon khususnya di Desa Trusmi Kulon dan Wetan enggan menorehkan malam (lilin) panas ke kain putih lagi.
Hal tersebut diungkapkan salah satu perajin asal Desa Trusmi Kulon yang enggan disebutkan namanya.
Menurutnya, ia memiliki dua anak perempuan.
Namun, kedua anaknya tersebut secara terang-terangan tidak ingin meneruskan jejaknya sebagai pembatik.
Kedua anaknya lebih memilih bekerja di perusahaan di luar Kabupaten Cirebon.
“Anak-anak saya sebenarnya bisa membatik, tapi mereka tidak mau, alasannya kotor dan kecil penghasilannya,” ungkapnya.
Dirinya mencoba membujuk anaknya untuk meneruskan jejaknya, namun lagi-lagi ditolaknya.
“Kalau saya membatik sejak kecil. Sejak saya usia 12 tahunan. Jadi sepulang sekolah, saya membantu ibu saya membatik,” katanya.
Kata dia, memang benar yang dikatakan anaknya, menjadi pembatik minim penghasilannya.
“Sehari bisa tujuh kain dengan upah di bawah Rp100 ribu,” pungkasnya. (Ghofar)
Discussion about this post