KAB. CIREBON, (FC).- Pupus sudah niatan Fahri, bocah kecil laki-laki berusia 9 tahun untuk sekolah, hal ini diakibat kondisi beban ekonomi yang ditanggung ayahanda tercinta dan keluarganya yang tak kunjung berkurang.
Seolah-olah tak ada hentinya dunia yang keras ini, terus menempa anak-anak kecil yang lugu nan malang seperti Fahri dan saudara-saudarinya yang lain.
Fahri yang seharusnya menjalankan kehidupan normal anak-anak pada umumnya. Kini, sudah tak miliki harapan bahkan niat untuk bersekolah kembali di Sekolah Dasar (SD) Negeri Wanacala, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon.
Berlarian kesana-kemari sembari menebarkan senyum diwajahnya meski, panas terik matahari yang menyengat, Fahri yang seharusnya aktif dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) online akhirnya memilih untuk ikut menjadi manusia silver seperti sang ayahanda tercinta.
“Nggak mau, maunya bantuin orang tua aja cari uang buat adik-adik dirumah,” tutur bocah kecil sembari menggelengkan kepalanya.
Baginya, sekolah hanya akan menjadi beban untuk kedua orang tuanya yang memang kurang mampu. Sehingga ia memilih untuk mencari uang dengan, menjejakan kaki mungilnya tanpa alas kaki dijalanan lampu merah Sumber dengan seluruh tubuh yang dipoles dengan cat silver.
Membawa ember dan menghampiri setiap pengendara roda 2 maupun roda 4, senyum manis selalu ia pasang diwajahnya yang mungil. Sembari berlompatan bak ditaman bermain, Fahri tidak takut dengan kegiatan yang ia jalani tersebut.
“Kalau ada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) aja paling kabur, takut soalnya,” beber Fahri.
Fahri sendiri memiliki cita-cita menjadi orang sukses yang ingin membahagiakan orang tua dan saudaranya. Akan tetapi, ketika ditanyakan perihal keinginan dan tawaran sekolah, Fahri hanya menggelengkan kepala dengan senyum tipisnya.
“Pingin sukses, bahagiain orang tua, bantu orang tua,” ucapnya lirih.
Sementara itu, sang ayah Rudi, mengatakan, sang anak sudah tak memiliki keinginan sekolah sejak awal meradangnya pandemi Covid-19.
“Dia sejak pandemi semangatnya turun, niatan belajarnya sudah tidak ada, saya juga bingung dan kasihan sama anak saya,” papar Rudi.
Rudi pun menambahkan apalagi pada saat suasana pada awal pandemi cukup panas, kuliah daring. Sedangkan, dirinya tak miliki hp yang sesuai dengan kebutuhan sekolah daring.
Sehingga, ketika suatu waktu Rudi dipanggil sekolah dan membahas ketertinggalan belajar sang anak Rudi hanya dapat memohon kelonggaran.
“Saya dipanggil, saya bilang ke guru mohon untuk maklumnya, tapi, guru pun tak bisa berbuat banyak. Kalaupun lihat ke tetangga mereka itu harus bayar,” ujar Rudi.
Untuk 1 kali pinjem hp atau pembelajaran daring, paling tidak dipasang harga yang bergantung pada waktu pemakaian, oleh tetangga Rudi.
Dan dari sanalah, tambah Rudi, dari pada menurunkan semangat belaiar anak, ia memilih menghutang hp sebesar Rp.3.000.000 kepada tetangga yang lain agar dapat beraktifitas sekolah kembali.
“Sayangnya, anaknya sekarang seharusnya udah kelas 4 , dikarenakan oleh faktor “U” muncul rasa empati dan simpati anak terhadap orang tua. (Sarrah)
Discussion about this post