Oleh: Wahyudi
Pemerhati Sosial dan Pendidikan
Tanggal 31 Januari 2021 adalah hari ulang tahun ke 95 Nahdlatul Ulama. Hampir satu abad organisasi ini menjadi aset bangsa dan turut memandu atas dinamika perjalanan republik indonesia. NU adalah elemen bangsa paling panting dalam peranannya mempertegas etos moderatisme kehidupan bangsa Indonesia yang selalu dinanti atas berbagai ancaman konflik sektarian dan terorisme. Apalagi belakangan situasi politik nasional yang serba sensitif menjadikan ujian tersendiri bagi kiprah NU dan kaum nahdyin
Semangat perjuangan NU digelorakan para pendiri seperti KH M Hasyim Asy’ari yang tak pernah surut menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Itu artinya NU sampai kapanpun memiliki tanggungjawab perjuangan moral untuk cita-cita NKRI dalam bingkai keindonesiaan, keumatan, kebinekaan dan kenegaraan Indonesia.
Tantangan kontemporer yang harus tetap dijawab oleh NU adalah persoalan radikalisme dan terorisme. Dunia saat ini tidak nyaman untuk ditinggali, kondisi mencekam, rasa aman, damai dan tentram seakan menjadi mahal bagi semua orang. Mereka yang tanpa mengerti dan tanpa dosa harus menanggung itu semua, menanggung beban atas catatan suram peradaban dunia yang dibayang-bayangi peperangan hingga pertumpahan darah atas nama kebenaran.
Ini adalah tugas besar ideologi dan politik moderatisme yang harus terus dipertegas oleh NU. Dilain sisi, sesungguhnya tantangan ini tidak hanya dipertegas oleh dan dibebankan kepada NU, tetapi adalah menjadi tugas bersama. Kita patut merefleksikan tantangan berat ini untuk bagaimana kehidupan bangsa kita kini dan nanti penuh kerukunan dan perdamaian sesuai dengan nilai luhur bangsa Indoesia.
Pristiwa pengeboman yang kerap terjadi di Indonesia dan tempat lainnya sesungguhnya menjadi catatan kelam peradaban kita. Dalam kontek dewasa ini dunia seakan mencekam, terorisme menjadi “hantu” yang menakutkan bagi bangsa Indonesia dan masyarakat dunia. Kita juga sudah sadar bahwa ternyata Indonesia menjadi wilayah yang begitu mudah menjadi target tumbuh suburnya benih-benih radikalisme dan terorisme.
Ideologi NU yang senantiasa dijiwai para Kiyai adalah tercermin dalam Firman Tuhan yang berseru “Kami jadikan kalian ummat pertengahan (ummtan wasatan)”, Qs. Maidah ayat 143. Menjadikan NU tetap berada dalam pandangan moderat dalam menentukan sikap dan falsafahnya. Gerakan ekstrim parsial-ego sektoral menjadi tantangan tersendiri yang dihadapi NU. Dengan falsahaf dasar yang berangkat dari manifestasi seruan Tuhan untuk tetap bersikap jalan tengah yang membuat NU bukan gerakan ekstrim kiri maupun ekstrim kanan. Dengan pandangan dan etos moderat inilah NU dan bangsa Indonesia mengajak yang kanan dan kiri untuk kembali pada jalan tengah. Jalan tengah adalah pilihan menjaga kerukunan, toleransi, keselamatan dan perdamaian bangsa dan bahkan dunia.
Konsekuensi yang ditanggung para kiyai dan warga NU dari pilihan ini adalah praktik agama ditengah-tengah pluralitas Nusantara dengan kedewasaan dan kebijkasanaan menghargai akan kewajaran pluralitas yang datang dari Tuhan. Sehingga dakwa islam NU dalam kontek ini tidak akan mengatakan “kafir” atau “sesat” kepada mereka masyarakat lokal yang merupakan “korban” lubang ekstrim kanan mapun kiri.
Praktik agama dan dakwa ajaran Islam ini sesungguhnya telah dilakukan oleh para “wali songo”, dimana para wali ini menjalankan tugas islamisasi dengan pendekatan “budaya dan seni” sehingga islam yang dibawah para wali dengan mudah diterima oleh budaya lokal hingga hasilnya bisa kita rasakan sekarang. Berkat jasa para wali itulah kita bangsa Indonesia mayoritas memeluk islam.
Dalam kontek sejarah penyebaran islam yang dibawah para wali seperti dijelaskan Siti Nuyassarotul bahwa pada praktik isalmisasi yang dilakukan para wali pada waktu itu tidak ada benturan apapun dalam dakwa para kiyai dengan masyarakat. Bisa dikatakan bahwa islam pada masa itu merupakan ideologi transnasional, sebab kiblat agama yang dibawah para wali merupakan ajaran dari arab. Namun karena ajaran yang dibawah tidak dengan kekerasan, teror jautru para wali membawah islam dengan penuh pendekatan perdamaian dan humanitas. Bahkan tradisi masyarakat setempat dikembangkan dengan baik dan diselaraskan dengan ajaran islam (etos keislaman). Disinilah titik berangkat yang menjadikan islam tumbuh subur di bumi Nusantara dan hari ini tampil dengan wajah yang tentu tidak bisa disamakan dengan wajah islam di negara lain. Islam yang dibawah para wali sangat jauh dengan ideologi transnasional hari ini yang seenaknya “mengkafirkan” kelompok lain yang bukan kelompok mereka dan bahkan dengan cara menteror seakan mereka “suci” dan benar.
Konstruksi sosial bangsa Indonesia dengan tipikal masyarakat beragama islam cenderung tampil dengan “wajah islam kultural” seakan mendominasi pemeluk islam di Indonesia. Fenomena ini memang tidak lepas dari akar sejarah mata rantai perjalanan ummat islam yang tidak bisa terhindarkan dari warisan model islam dari kiyai klasik terdahulu. Dan NU adalah elemen ummat dan bangsa yang tetap menjaga nilai-nilai islam yang kohesif dengan nilai luhur bangsa. Peran NU demikian sesungguhnya selaras dengan “nawa cita Jokowi” tentang penegasan “kepribadian bangsa”.
Inilah Khitto NU yang sesungguhnya diperlukan oleh bangsa Indonesia saat ini yang mengalami gempuran hegemonisme budaya asing yang ditakutkan menggerogoti nilai-niali budaya luhur kita. Posisi dan peranan NU dalam memandu Republik ini sangat setrategis dan penting untuk menjaga dan mempertahankan kepribadian bangsa Indonesia yang sesuai dengan nilain-nilai luhur budaya bangsa kita.
Tantangan didepan mata bangsa kita saat ini adalah hegemoni budaya negatif asing yang tidaks selaras dengan nilai luhur bangsa, terorisme, radikalisme yang sesungguhnya itu semua tidak selaras dengan karakter asli “orang indonesia”.***