Oleh : Muhamad Jaenudin,S.Ag. dan Juhana,S.Ag.
(Kepala KUA Kec. Ciniru dan Kec. Mandirancan)
Orang mungkin akan bertanya, kenapa sih di kalangan Ummat Islam sering terjadi perbedaan pendapat dan sulit untuk dipersatukan?. Ada yang kunut dan tidak, yang tahlil dan tidak, yang menafsirkan masa suci (quru’) dengan tiga bulan, atau tiga kali sucian, pro-kontra tentang masih adanya wali muhakkam dalam pernikahan dan lain lain
Sesungguhnya pangkal masalahnya ada pada kelebihan Al-Quran sendiri sebagai sumber Hukum Islam yang mempunyai karakter yang elastis dan lentur. Bahwa elastisitas Al-Quran adalah sebuah asumsi yang terbukti adalah tidak diragukan lagi. Bahkan Al-Qurannya sendiri telah memberi jaminan pasti (True guarantee) tentang hal itu lewat narasi ayatnya, Sungguh telah Kami (Allah) mudahkan Al-Quran untuk mengingatnya.Ayat ini bahkan terulang beberapa kali di Surat Al-Qomar.. Secara metode al-mafhum bisa ditarik pengertian bahwa Al-Quran itu mudah untuk ditafsirkan bahkan sesuai dengan kemauan sang penafsir. Al-Quran bisa dipakai untuk membela atau menyerang, mengangkat atau menjatuhkan, memuji atau mencela. Al-Quran bisa menjadi hujjatun laka atau bisa sebaliknya sebagai hujjatun ‘alaika.
Maka jangan aneh kalau dalam lintasan sejarah pemikiran Islam kita mengenal madzhab qodariyah yang begitu mendewakan akal dan kemampuan manusia yang sangat berlawanan dengan madzhab Zabariyah yang sangat mengecilkan peran manusia. Manusia tak ubahnya sebagai wayang yang gerak dan langkahnya digerakkan Sang Dalang kehidupan. Namun lucunya, dua madzhab ilmu kalam tersebut ternyata sumbernya sama, Al-Quran al-Kariim. Dari sumber yang satu itu telah melahirkan dua madzhab yang sama sakali bersebrangan dan bertentangan.Al-Quran telah menjadi sumber inspirasi baik bagi kawan maupun lawan.
Ada satu ajaran Filsafat yang bisa “dipinjam” untuk menjelaskan hal ini. Menurut filsafat Emanasi Ibnu Arobi bahwa segala yang tampak di alam ini adalah pancaran dari Dzat yang satu. Maka jangan pernah tertipu dengan banyaknya wujud yang nampak di kasat mata, karena semua tak ubahnya sebagai bayangan dari yang aslinya. Mereka yang nampak semua itu adalah nisbi, fana dan rusak. Sebaliknya Dzat yang absolut itulah yang kekal.
Karena semua yang ada di alam ini adalah bayangan dari wujud hakiki, maka harusnya setiap kali melihat makhluk, mengantarkan kita pada Dzat absolut dibalik bayang itu. Seluruh yang ada, walaupun tampak, sebenarnya tidak ada dan keberadaannya bergantung pada Tuhan Sang Pencipta. Yang tampak hanya bayang-bayang dari Yang Esa (Tuhan). Manusia yang mampu mencapai maqom ini ia akan menemukan bahwa semua menuju pada persatuan wujud sejati yang ia sebut wihdatul wujud. Manusia yang bisa menyatu dengan Tuhannya.
Ibnu Arobi juga berteori dengan cermin. Diibaratkan ketika kita bercermin, kita tahu bahwa satu-satunya wajah yang riel adalah yang ada pada diri kita, bukan yang terpantul dalam cermin. Karena yang ada dalam cermin hanyalah sebuah bayangan. Dan semua yang ada di alam ini adalah bayangan dari tajallinya Tuhan. Maka seribu yang tampak dari alam ini adalah bayangan yang dihasilkan sesuai dengan kemampuan mereka menerima pantulan gambar dan kondisi cermin mereka.
Konsep emanasi bisa dipakai untuk memotret elastisitas Al-Quran yang membawa pada ragam penafsiran bahkan juga madzhab pemikiran. Ummat manusia yang kemampuannya terbatas itu mencoba menerima pantulan kebenaran yang Allah pancarkan dalam Kalam Ilahi. Di kalangan sesama muslim misalnya, betapa mempunyai keragaman penafsiran ketika menafsirkan al-Quran dan Al-Hadits; ada yang kunut dan tidak, yang tahlil dan tidak, yang menafsirkan masa suci (quru’) dengan tiga bulan, atau tiga kali sucian, pro-kontra tentang masih adanya wali muhakkam dalam pernikahan. Semua perbedaan sejatinya adalah satu entitas hidayah dari Dzat yang Maha Absolut yang dipancarkan melalui Kalamullah yang kemudian ditafsirkan oleh makhlukNya sesuai kadar kemampuannya. Maka laksana sebuah sumber cahaya yang memancarkan sinar ke semua penjuru, semakin kita menelusuri keluar maka kita akan makin menemukan jarak perbedaan yang jauh. Tetapi jika makin melihat ke dalam. kita akan semakin menemukan persamaan karena semua bertemu pada sumber yang satu.
Sikap kita terhadap orang yang berbeda madzhab dan penafsiran pun sama. Siapapun kita yang notabene makhluk, kita adalah rapuh, tak ada yang bisa dibanggkan. Semua kita hakikatnya sama, sedang mencari kebenaran dalam sebuah penafsiran. Dan kebenaran hakiki itu hanya mutlak milik Tuhan. Tidak ada hak sedikit pun bagi kita untuk menghakimi orang lain yang tidak sepaham dengan kita, mereka adalah sesat, bahkan wajib diperangi. Karena kita dengan mereka adalah sama. Sama sama sedang mencari kebenaran yang Tuhan pancarkan kepada segenap penjuru alam. Masing-masing kita sesuai kemampuannya berupaya menerima sinyal dan pantulan cermin untuk tiba pada kebenaran hakiki Sang Ilahi.
Maka sangatlah disayangkan jika dalam realitas sosial masih ditemukan sesama madzhab hukum saling mengklaim golongannya yang paling hebat, paling benar, bahkan tega menghakimi (al-tahkiim) bahwa orang lain keliru, sesat, apalagi sampai bergaya al-takfiir, mengkafirkan golongan yang lain. Dalam lintasan sejarah Islam, cerita paling kelam tentang hal ini pernah terjadi. Seorang tokoh Khoarij bernama Abdurrahman Bin Muljam tega membunuh Kholifah Ali Bin Abi Thalib hanya karena berbeda madzhab dan pemikiran. Padahal Abdurrahman Bin Muljam adalah seorang Muqri , seorang pengajar Al-Quran.
Pantaslah kalau kemudian ada kalimat yang masyhur di kalangan fuqoha dan semua madzhab mengatakan hal yang sama ; “Pendapatku benar, tapi bisa jadi salah. Dan pendapat selainku adalah salah, tapi bisa jadi benar.”
Dengan demikian, orang yang dengan gampang menganggap sesat orang lain hanya karena berbeda madzhab, pemikiran dan penafsiran sejatinya adalah orang yang picik namun berlindung dibalik jubah kesucian. Kelompok yang memukul orang lain dengan mengatasnamakan Al-Quran. Dan realitas ini membuktikan bahwa pada diri seorang mufassir Al-Quran sekalipun bisa terkena godaan yang dihembuskan syetan, Karenanya seorang penafsir harus mempunyai moralitas baik. Ia tidak boleh menafsirkan Al-Quran untuk niat yang buruk. Itulah sebabnya QS. Al-Zumar:18 memberikan kriteria penafsir yang baik adalah ,mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikutinya dengan yang terbaik. Ibnu Arobi menafsirkan kata “yang terbaik” dengan dua makna; pertama, penafsir yang bertanggung jawab untuk konsisten selalu mengusung kebenaran dalam setiap penafsirannya dan kedua, sang penafsir yang dengan tafsirnya membawa ia semakin takut dan makin dekat kepada-Nya. WaAllahu a’lam bisawwab.