MAJALENGKA, (FC).- Menyambut datangnya musim tanam pertama atau MT I, ratusan warga Desa Ligung Lor, Kecamatan Ligung, Kabupaten Majalengka menggelar ritual tahunan adat desa bongkar bumi atau biasa dikenal juga dengan sebutan guar bumi. adat desa tersebut di gelar pada Rabu (23/10), di halaman kantor desa setempat dihadiri oleh unsur Muspika, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama dan undangan yang lainnya.
Adat desa bongkar bumi pada tahun ini sengaja dilakukan pada akhir oktober, mengingat prediksi musim penghujan akan tiba di penghujung bulan bulan ini.
Padahal biasanya guar bumi dilakukan pada awal awal bulan September, namun mengingat situasi kemarau yang berkepanjangan, maka adat desa guar bumi baru bisa dilaksanakan pada saat ini. Doa dan upacara guar bumi dipimpin oleh tokoh masyarakat desa setempat.
Guar bumi adalah sebuah budaya yang dilakukan secara turun temurun dari nenek moyang. Kegiatan ini biasa dilaksanakan setiap tahun menjelang musim rendeng sekaligus sebagai cerminan hidup gotong royong, silih asah dan silih asih.
“Makanya yang dilakukan pada upacara bongkar bumi adalah semua warga membawa makanan ke lokasi kegiatan. Sedangkan makanan yang dibawa cukup beragam hingga makanan has seperti leupeut ketan bercampur kacang-kacangan, tangtangangin (leupeut ketan yang dibungkus daun bambu, hingga urab kacambah, dan bakakak ayam,” kata Daya warga Blok Putbar Desa Ligung Lor.
Makanan yang dibawa setiap warga disatukan kemudian dimakan bersama, sisanya dibawa pulang kembali.
Tak heran jika makanan yang semula dibawa ketika pulang akan berubah karena semua makanan diaduk jadi satu. Malah mereka yang tidak datang ke lokasi bongkar bumi pun bisa tetap menyantapnya karena dibagikan pula ke rumah yang tidak hadir.
“Budaya guar bumi sebuah tradisi masyarakat pedesaan yang mengungkapkan rasa syukur kepada sang khalik atas limpahan rezki yang diterima, khususnya kaum petani, dengan cara doa bersama dilanjut dengan makan bareng,” ungkap Daya.
Kepala Desa Ligung Lor, Rasmin mengapresiasi warganya yang masih terus menjunjung tinggi tradisi yang diwariskan nenek moyangnya dari dulu. Pada upacara ini sekaligus ajang silaturahmi bagi warga yang jarang bertemu. Di lokasi guar bumi juga bisa saling tukar informasi beragam persoalan yang dihadapinya termasuk diskusi bibit padi yang akan ditanam, siapa yang masih punya bibit unggul hingga kesepakatan biaya garap nanti.
Di sana pun terjadi tukar informasi soal harga gabah disaat ini hingga dan kepada siapa bisa menjual gabah dengan harga yang lebih baik. Atau bicara kapan musim penghujan akan datang dan bisa memulai garap sawah.
“Disini usai memanjatkan doa dan makan bersama, saling bertukar pikiran dan tukar informasi diantara sesama petani. Jadi manfaatnya dari bongkar bumi tidak sekedar makan bersama,” ungkap Kades Rasmin.
Menurut keterangan sejumlah warga, di wilayahnya, ada dua kebiasaan tahunan yang masih terus dilaksanakan menjelang musim penghujan, yaitu, adat munjungan dimana masyarakat pedesaan melakukan doa bersama di salah satu makam yang dianggap keramat atau makam pendiri desa tersebut, sambil membawa makanan khas yang nantinya sama-sama dimakan di pemakaman. Munjungan ini biasanya dilaksanakan pada hari Jumat pagi.
Kedua adalah adat bongkar bumi atau guar bumi upacara ini biasanya dilakukan pada hari Rabu, atau lima hari setelah melaksanakan munjungan. Dari kedua tradisi ini semuanya mempunyai rangkaian yang sama, yakni menyambut datangnya musim rendeng dan musim tanam.
Semua warga, di pagi hari sekitar pukul 7.00 WIB datang berduyun-duyun ke lokasi digelarnya upacara dengan pakaian bersih dan rapi serta baju yang dianggap bagus, sambil membawa makanan berat seperti basi putih, nasi tumpeng bersama lauk-pauknya seperti sambal goreng kentang, kecambah, bihun, pindang telur, telur asing dan sejumlah oseng-oseng hingga makanan ringan seperti kue, wajit, apem, air kopi serta sesajen dan lain sebagainya diluar makanan khas desa setempat.
Makanan ini dibawa menggunakan bakul terutama untuk nasi tumpeng yang dibubuhi bakakak ayam nan besar, serta sayurannya diwadahi rantang, atau untuk nasi biasa diwadahi sangku. Bagi tamu yang datang bisa membawa makanan sesukanya. Sedangkan doa yang dipanjatkan adalah memohon keselamatan, memohon hasil panen yang melimpah dan hasilnya membawa berkah bagi para petani. (Munadi)