Oleh: Wahyudi
Pendiri Sekolah Al Madinah Center Cirebon
Siswa adalah sosok manusia utuh. Dalam usia dan kapasitasnya sebagai seorang anak, ia sedang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan. Pun sejatinya orang dewasa adalah sosok manusia yang pada prinsipnya sedang terus belajar. Artinya manusia adalah mahluk hidup pembelajar hingga akhir hayatnya.
Siswa atau murid adalah sosok unik. Kita sebagai orangtua atau guru harus memandangnya demikian, ia adalah sosok unik dengan kelebihan dan kekurangannya. Sehingga kita tak berhak memberikan penilaian terlalu dini terhadap kualitas anak.
Dalam memberikan pendidikan kepada mereka, kita harus menghormati sosoknya sebagai seseorang yang sedang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan. Dengan sikap kita yang demikian maka kita tak akan muda terjerumus ‘menghakimi’ seorang anak/siswa yang menurut diagnosa kita bahwa ia adalah anak yang bodoh.
Sejatinya, tak ada anak yang bodoh. Manusia adalah mahluk yang sudah ‘disetting’ oleh Tuhan sedemikiannya, hanyalah soal waktu untuk menjadikannya manusia utuh. Tak ada siswa yang bodoh, yang ada adalah siswa yang memiliki kekurangan disisi lain, dan kelebihan disisi lain. Itulah keunikan anak atau manusia umumnya. Oleh karenanya sudah menjadi kewajiban seorang guru untuk memperlakukan siswa dengan sikap yang dewasa dan bijaksana. Memang butuh kesabaran tinggi, rasa cinta dan positif thingking selama menghadapi siswa selama proses pendidikan berlangsung.
Pun sebaliknya, guru adalah sosok yang pantas dan wajib dihormati. Guru terlebih dahulu mampu menjadi ‘role model’ sebagai sosok figur dewasa yang menginspirasi, memotivasi dan contoh teladan ideal untuk ditiru oleh siswanya. Karakter dan sikap guru yang menginspirasi adalah pendidikan penting bagi anak-anak. Disinilah siswa wajib dan pantas menghormati guru dengan penuh kemartabatannya.
Guru bermartabat dan siswa bermartabat. Itulah suasana pendidikan yang bermartabat. Suasana pendidikan yang humanis, arif, menginspirasi, menarik, memotivasi dan mendorong siswa dan guru menjadi manusia seutuhnya.
Sejarah pendidikan di negara lain pernah mencatat. Misal tak sedikit tokoh kelas dunia yang dulunya sempat salah terdiagnosa oleh sang gurunya.
Thomas Edison, yang terkenal sebagai penemu lampu itu pernah dipulangkan ke rumah oleh sekolahnya dengan sebuah catatan oleh gurunya yang mengatakan bahwa ia adalah anak yang terlalu bodoh dan tidak punya harapan. Pada masa kecilnya di Amerika Serikat, Edison selalu mendapat nilai buruk di sekolahnya. Oleh karena itu ibunya memberhentikannya dari sekolah dan mengajar sendiri di rumah. Di rumah dengan leluasa Edison kecil dapat membaca buku-buku ilmiah dewasa dan mulai mengadakan berbagai percobaan ilmiah sendiri. Pada Usia 12 tahun ia mulai bekerja sebagai penjual koran, buah-buahan dan gula-gula di kereta api.
Louis Pasteur, yang dikenal sebagai ilmuan asal Prancis ini yang berjasa besar bagi dunia kedokteran, juga sempat mendapat predikat stempel dari guru kimianya bahwa ia merupakan siswa yang lambat belajar. Dan masih banyak lagi contoh-contoh ‘penghakiman’ terlalu dini terhadap kualitas anak yang notabene sebagai sosok ‘unik’ yang sedang belajar, ‘mencari’ dan berkembang.
Kedua tokoh dunia ini bertuntung, sebab setelah ia keluar dari sekolah, mereka justru mendapat pendidikan dan ruang kreatif yang mendukung tumbuh kembangnya, yaitu keluarga Di rumah atau keluargalah pada pada akhirnya mereka mengasah bakat minatnya. Tapi apalah jadinya jika justru keluarganya tidak mendukung, keluarganya tidak mengerti arti penting pendidikan anak?
Pendidikan yang bermartabat adalah suasana pendidikan yang mampu mewujudkan rasa dan perlakuan yang humanis pada seluruh warga sekolah, baik siswa maupun guru. Teringat pernyataan tokoh pendidikan nasional Prof Arief Rachman yang menegaskan pertanyaan: “kurikulum atau suasana?”, lalu seluruh guru menjawab serentak “suasana”. Pertanyaan itu disampaikan Prof Arief Rachamn dihadapan banyak guru pada saat acara semacam tausiah di salah satu sekolah.
Kurikulum penting. Ia sebagai cetak biru pendidikan. Sehingga semua orang paham dan mengerti maksud dan tujuan serta proses pendidikan yang diselenggarakan pemerintah. Dengan kurikulum, semua masyarakat pendidiikan menjadi paham atas arah pendidikan yang dibangun sebuah negara. Kurikulum itu mahluk hidup. Mahluk hidup tentang imajinasi pendidikan. Didalamnya terdapat pemikiran, filsafat, arah, target, cara atau proses dan tujuan suci atas ikhtiar membangun manusia yang sejati-jatinya manusia.
Tapi implementasi kurikulum cenderung adimistratif dan birokratif. Hilang ruh kurikulum itu di sudut ruang kelas pendidikan. Ditambah pelaksanaan kurikulum begitu adimistratif dan birokratifnya sehingga membuat guru ‘terjerumus’ kedalam orientasi yang sifatnya kuantitatif. Tapi lupa bahwa siswa membutuhkan suasana humanis yang diciptakan guru.
Itulah pentingnya menciptakan suasana belajar yang bersahabat dan menjawab kebutuhan siswa. Itulah pendidikan yang bermartabat. Proses dan suasana pendidikan yang menempatkan manusia sebagai objek dan subjek yang perlu mendapat perlakuan yang humanis. Suasana pendidikan yang mampu memacu motivasi belajar, membangkitkan antusiasme dan membangun karakter.
Dengan suasana belajar yang menitik beratkan ‘manusianya’ maka kita turut membangun karakter anak sebagai manusia pembelajar. Anak-anak kita setting potensinya agar punya motivasi belajar, antusiasme, karakter positif, rasa ingin tahu, kritis, peka, punya cita-cita, kemauan yang kuat untuk berkembang dan memiliki dirinya secara utuh, serta punya rasa tanggungjawab atas kehidupan dirinya dan masyarakat.
Itulah mungkin, mengapa pula Mendikbud Nadiem Makarim mencetus program ‘merdeka belajar’. Merdeka untuk guru dan siswa. Merdeka dari jerat-jerat suasana orientasi administratif, kuantitatif dan birokratif itu. Penulis sudah menulis tema ‘merdeka belajar’ itu sebelumnya. Sehingga disini tidak menulis panjang lebar tema ‘merdeka belajar’ itu.
Tapi barangkali, ‘merdeka belajar’ cetusan Nadiem juga adalah jawaban yang relevan atas pertanyaan Prof Arief Rachman: “kurikulum atau suasana?” itu. Maka para guru memilih ‘suasana’. Merdeka belajar juga sangat relevan dengan pilihan ‘suasana’ itu ketimbang kerasukan kertas kurikulum.
Merdeka belajar juga bisa dimaknai pembebasan dari ‘kertas kurikulum’ yang menciptakan suasana pendidikan begitu terbebani beban adimistrasi. Adimistrasi penting, sangat penting. Tapi rasanya tak perlu menjadi ‘paradigma pendidikan’. Adimistrasi harus ditempatkan sebagai mesin pendidikan saja. Bukan menjadi paradigma. Yang penjadi paradigma adalah ‘tujuan pendidikan’ itu sendiri. Harus dimaknai, dijiwai dan menjadi platform penyelenggaraan pendidikan. Tujuan pendidikan begitu rapi tertulis dan sudah sangat bagus sebagaimana tertulis bai tujuan pendidikan nasional didalam UU Pendidikan Nasioanl itu. Kurang lebih menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak, nandiri, kreatif, inovatif dna bertanggungjawab. Untuk tercapai tujuan itu, ada indikator, target dan sistem penilaiannya, bahkan di evaluasi. Ditahap penilaian dan evaluasi ini kita harus hati-hati mendiagnosa jika ada siswa yang dianggap perlu dievaluasi. Siswa adalah sosok yang memiliki kekurangan disisi lain dan punya kelebihan disisi lain.