KOTA CIREBON, (FC).- Di Kota Cirebon ternyata selain banyak rumah tidak layak huni. Ada pula rumah yang ambruk, baik karena bencana alam maupun usia rumah yang sudah tua. Dan hampir semuanya rumah itu dimiliki oleh masyarakat yang kurang mampu.
Hal tersebut menuai perhatian dari Komisi III DPRD Kota Cirebon, dengan memanggil Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DSPPPA), Badan Keuangan Daerah (BKD) dan Bagian Hukum Setda Kota Cirebon guna menggelar rapat kerja di ruang rapat Griya Sawala DPRD, membahas permasalahan ini.
Ketua Komisi III Tresnawaty mendorong, agar mekanisme proses penyerapan bantuan perbaikan rumah ambruk dipercepat. Prosedur realisasi penyaluran bantuan rumah ambruk saat ini dinilai masih menyulitkan warga.
Pasalnya, harus menempuh jalur birokrasi yang panjang. Padahal, rumah ambruk merupakan musibah yang harus ditangani dengan cepat.
“Penanganan rumah ambruk seharusnya bisa dipercepat. Karena masuk dalam kategori gawat darurat. Terlebih, menurut keterangan BPBD bahwa bencana angin puting beliung dan banjir rob mengancam Kota Cirebon ketika cuaca ekstrem seperti saat ini,” jelas politisi Partai Gerindra ini.
Dari keterangan DSPPPA, lanjutnya, untuk bantuan rumah ambruk tidak ada dasar hukum untuk segera mengeluarkannya, karena anggaran tersebut ada di BKD.
Padahal, bantuan tersebut harusnya bisa langsung dikeluarkan karena termasuk emergency atau kegawatdaruratan.
Pihaknya bersyukur, pada rapat tersebut, pembahasan dengan DSPPPA menemui titik terang. Komisi III bersepakat bahwa bantuan perbaikan rumah ambruk bisa segera dikeluarkan ketika warga mengalami musibah tersebut.
Namun demikian, perlu dibahas lebih lanjut untuk menentukan dasar hukum dan membuat teknis percepatan penyaluran bantuan rumah ambruk.
Pangkal persoalan, kata dia, adalah persoalan yang biasa dihadapi ketika terjadi rumah ambruk, pemilik rumah biasanya tidak memiliki sertifikat tanah.
Sehingga pihaknya merekomendasikan agar bantuan perbaikan rumah tidak harus menggunakan sertifikat tanah sebagai syaratnya. Cukup mungkin dengan keterangan dari kelurahan atau kecamatan setempat saja.
“Namun untuk mengejar hak demikian, harus memiliki payung hukum yang jelas. Kami menyerahkan ke Bagian Hukum Setda sepenuhnya, apakah cukup dengan SK Walikota atau dalam bentuk Perwali, tapi kami akan terus mengawal supaya tidak panjang mekanismenya,” imbuhnya.
Sementara itu, Kepala DSPPPA, Santi Rahayu menambahkan, anggaran untuk bantuan rumah ambruk termasuk dalam anggaran belanja tidak terduga (BTT). Dimana kewenangannya ada di Badan Keuangan Daerah (BKD).
Pihaknya akan mengeluarkan surat rekomendasi, itupun kalau rumah yang ambruk menimpa warga miskin. Kemudian, bantuan itu bisa dikeluarkan jika rumah ambruk disebabkan karena faktor bangunan yang sudah tua atau lapuk.
Mantan Kabag Umum Setda ini menjelaskan, mekanisme proses pengajuan bantuan rumah ambruk yakni, warga terlebih dahulu harus melaporkan ke RT/RW setempat lalu diteruskan ke kantor kelurahan untuk disampaikan ke DSPPPA.
Kemudian, DSPPPA meninjau ke lokasi untuk memberikan bantuan sembako dan menyurvei rumah ambruk.”Setelah prosedur dilaksanakan, baru diajukan kepada kami untuk ditindaklanjuti,” pungkasnya. (gus)