MAJALENGKA, (FC).- Sepi dan tidak beroperasinya Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati Majalengka menjadi PR besar pemerintah dalam menata ulang kawasan yang digadang-gadang sebagai kawasan pembangkit ekonomi baru.
Pengamat politik dan Ilmu Pemerintahan Diding Bajuri menilai sampai saat ini pemerintah daerah belum begitu serius dalam mengambil keputusan untuk kebangkitan Majalengka sendiri.
Diding mengutip pernyataan dari Alfin Lee sebagai pengamat penerbangan, bahwa sejak awal memiliki perspektif kurang positif dan berimbang terhadap keberadaan BIJB, sehingga terkesan pemkab Majalengka belum siap menerima kondisi seperti saat ini.
“Padahal sejatinya ketika Cisumdawu selesai, tol akses BIJB selesai, Pemprov Jabar menegakkan kembali kebijakan rute dan jenis pesawat yang dapat beroperasi di Bandara Husen dan BIJB, saya meyakini aktivitas BIJB akan kembali bangun dan berkembang lagi,” ujar Diding Bajuri kepada wartaean Selasa (3/11).
Dikatakan Diding, tentu kebijakan ini harus didukung semua pihak yang bergerak di sektor transportasi, pariwisata, industri dan perdagangan serta sektor sektor penunjang lainnya seperti biro jasa perjalanan haji dan umroh.
“Ketika daya dukung BIJB telah lengkap, akses infrastruktur jalan dan perhotelan dan lainnya, PR pemerintah kab/kota di wilayah Ciayumajakuning plus Sumedang secara sinergi perlu melakukan upaya bersama dalam meningkatkan daya tarik masing-masing daerah dalam sektor pariwisata, budaya dan kuliner,” jelasnya.
Mewujudkan hal itu semua, sambung Warek 1 Universitas Majalengka, tentu dengan memerhatikan tiga kunci utama pengembangan sektor pariwisata, yaitu Akses, Atraksi/Aksi dan Amenitas.
“Menurut saya hampir semua pihak cenderung saling menunggu perkembangan, inisiasi mengawali relatif kurang serta belum adanya perencanaan integratif yang nyata terkait pengembangan sektor wisata sesuai keunikan yang dimiliki,” paparnya.
Situasi sekarang ini dalam keadaan uncertainty (dalam ketidakpastian) sedikit atau banyak masa pandemi Covid-19 telah memberikan dampak buruk terhadap dinamika semua sektor.
“Hal ini membuat keraguan terhadap sektor privat dan bisnis karena kekhawatiran menerima resiko kerugian,” tandasnya. (Munadi)