KAB. CIREBON, (FC).- Sejak disahkan pada Mei 2022, implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau UU TPKS belum optimal. Selain pemahaman publik dan penyelenggara negara akan UU ini belum merata.
Oleh karenanya, Anggota Komisi VIII DPR RI, Hj Selly Andriani Gantina kembali melakukan sosialisasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) tersebut di salah satu hotel di Kecamatan Kedawung, Kabupaten Cirebon, Jumat (11/8).
Selly mengatakan pihaknya sengaja melakukan evaluasi satu tahun impelementasi UU TPKS yang ada di wilayah Ciayumajakuning ini pasalnya para relawan masih mendapatkan banyak hambatan saat melakukan sosialisasi UU TPKS kepada masyarakat.
“Instansi terkait seharusnya bisa bekerjasama. APH juga belum sepenuhnya paham keterlibatan mereka di dalam advokasi. Karena ada beberapa APH yang belum paham, tetapi setelah proses itu berjalan, mereka tahu kalau mereka harus terlibat di dalam penanganan advokasi kekerasan seksual tersebut,” terang Selly.
Selain itu juga, kata Selly, para relawan juga merada sedikit kesulitan untuk melakukan pemahaman, tentang bagaimana nasib kepada korban setelah mereka tanggani dan mereka harus terlibat lagi dengan masyarakat di lingungan mereka.
“Karena banyak sekali korban kekerasan seksual yang setelah mereka melaporkan dan selesai kasus hukumnya. Kemudian mereka ingin bekerja karena kondisi ekonominya, mereka kebingungan harus mulai dari mana lagi, mereka juga minta kejelasan kepada negara dalam hal ini pemerintah, apakah dalam UU ini ada atau tidak,” ujarnya.
Disinggung soal anak adopsi, Selly menjelaskan, banyak korban kekerasn seksual yang akhirnya harus melahirkan status anaknya tanpa ayahnya. Padahal yang dilahirkan harus tercatat secara akta kelahiran.
“Di dalam akta lahir ini harus terlahir sebagai anak dari seorang ibu dan mereka harus di adopsi lewat pengadilan. Ya jelas kalau lewat pengadilan tercatat dan legal, tetapi kalau dicatat dengan akta normal tercatat sebagai anak ibu, maka yang dikhawatirkan kalau sudah besar kemudian dia akan menikah kita tidak tau ayahnya siapa, itu yang kami takutkan,” katanya.
Di tempat yang sama, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dan Anak pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) Republik Indonesia, Agus Wiryanto menjelaskan, UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini khusus. Ada beberapa terbosoan atau aturan yang diatur terkait dengan tindak pidana kekerasan seksual.
“Ada kualifikasi jenis kekerasan seksual. Setidaknya ada 9 jenis. Yaitu kekerasan seksual non fisik dan kekerasan seksual fisik. Termasuk pemaksaan kontrasepsi dan pemaksaan perkawinan, pelecehan seksual, perbudakan seksual dan tekanan seksual berbasis elektronik,” katanya.
Selain itu ada juga beberapa catatan penting, bahwa UU TPKS ini tidak bisa diselesaikan dengan restorative justice. Harus tetap diproses. “Kecuali pelakunya seorang anak,” katanya.
Ia membenarkan, turunan dari UU ini, masih dipersiapkan. Baik melalui Perpres maupun Peraturan Pemerintah. Agar pelaksanaan UU bisa efektif.
“Kita siapkan terkait dengan pencegahan penanaganan perlindungan dan pemulihan korban. Itu kita atur, kita juga menyiapkan aparatur penegak hukum. Nantinya akan dilatih bareng melakui diklat,” katanya. (Ghofar)
Discussion about this post