KOTA CIREBON, (FC).- Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Cirebon Tahun 2024 hanya mencapai 66,03 persen. Angka ini mengalami penurunan signifikan dibandingkan Pilkada 2018 yang mencapai 72,3 persen, serta pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) 2024 yang mencapai 83,44 persen.
Penjabat (Pj) Wali Kota Cirebon, Agus Mulyadi mengakui adanya penurunan tingkat partisipasi Pilkada 2024. Menurutnya, penurunan tingkat partisipasi ini bisa sebagai bahan kajian serta evaluasi, untuk meningkatkan partisipasi masyarakat pada pemilu mendatang.
“Informasi yang kami terima, tingkat partisipasi pada Pilkada 2024 ini sekitar 66,03 persen. Mudah-mudahan tingkat partisipasi ini masih dinamis,” ujar Agus, Sabtu (30/11).
Agus menilai, partisipasi masyarakat dalam Pemilu mencerminkan bagaimana rakyat menggunakan hak pilih mereka secara optimal.
“Kondisi ini perlu kita analisis dan evaluasi agar ke depan tingkat partisipasi masyarakat dapat meningkat dan hak pilih mereka tersalurkan dengan baik,” katanya.
Agus menjelaskan bahwa hasil hitung cepat yang dilakukan melalui metode statistik menjadi gambaran awal hasil pemungutan suara. Namun, keputusan final tetap berada pada wewenang Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Kami sudah melihat hasil hitung cepat dari berbagai sumber. Tapi, sekali lagi, keputusan secara formal adalah keputusan yang ditetapkan oleh KPU,” tegasnya.
Agus juga memberikan pesan kepada seluruh pasangan calon (paslon) yang bertarung di Pilkada Kota Cirebon 2024. Ia berharap pasangan calon yang belum mendapatkan mandat dari masyarakat tetap berkontribusi untuk pembangunan Kota Cirebon.
“Bagi pasangan calon yang belum terpilih, ini adalah sebuah perjuangan yang semoga tidak berhenti di sini. Kita harus bersama-sama membangun Kota Cirebon,” ujarnya.
Sementara itu, untuk pasangan calon terpilih, Agus mengajak mereka mempersiapkan dan merealisasikan visi-misi mereka yang nantinya akan dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025-2030.
“RPJMD ini akan menjadi rujukan untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, sesuai dengan visi pembangunan Kota Cirebon,” imbuhnya.
Suara tidak sah tinggi
Sementara itu, Ketua KPU Kota Cirebon, Mardeko mengakui dari sisi partipasi masyarakat pemilih di Pilkada Serentak 2024 pada 27 November mengalami penurunan dibandingkan dengan penyaluran partisipasi hak pilih pada Pileg dan Pilpres pada 14 Februari 2024 lalu.
Meskipun belum ada data yang menunjukkan berapa persen partisipasi pemilih pada Pilkada kemarin, Mardeko mengaku, jika melihat hasil di beberapa tempat pemungutan suara (TPS), tingkat partisipasinya hanya sekira 60 persen jika dirata-ratakan. Selain itu, dari jumlah pemilih yang datang ke TPS, setelah dihitung ternyata angka dari suara tidak cukup tinggi.
“Jika melihat dari mayoritas laporan data TPS yang masuk, tingkat partisipasi pemilih rata-rata di angka 60 persenan. Itu belum dari suara tidak sah yang juga tinggi,” ungkap Mardeko.
Dibandingkan dengan angka partisipasi pada saat Pileg lalu yang mencapai 83,44%, dijelaskan Mardeko, partisipasi pemilih di Pilkada kali ini menurun jauh.
Dengan kondisi saat ini, meskipun belum ada data pasti. Namun, melihat hasil di mayoritas TPS yang hanya sampai di angka 60%, maka tingkat partisipasi menurun sekira 20%.
“Ini akan jadi evaluasi, perkiraan turun 20 persenan. Perubahan yang cukup besar dibandingkan Pileg. Tapi memang belum kelihatan secara keseluruhan, karena masih rekap di tingkat kecamatan,:” kata Mardeko.
Pengamat Sosial dan Politik Cirebon, Sutan Aji Nugraha mengakui, Kota Cirebon mengalami fenomena penurunan partisipasi masyarakat untuk memilih.
Sutan membeberkan, Pilkada ini adalah representasi dari pertarungan semua variabel. Salah satunya adalah rendahnya persentase keterikatan partai politik dengan masyarakat.
“Saya menilai, partai politik menempatkan masyarakat dalam hal ini pemilih hanya sebagai objek politik semata. Dengan begitu, pemilih paham betul apa orientasi partai politik pada setiap perhelatan Pilkada,” terangnya.
Maka dari itu, peletakan pemilih sebagai objek, tercermin juga dalam hal penyelenggara Pemilu, baik KPU maupun Bawaslu.
“Dan hal ini menjadi fundamentalnya untuk bagaimana hasil Pilkada terlegitimasi dengan persentase pemilih di atas 75 persen, yang menunjukkan mayoritas menyalurkan aspirasinya, tentunya bentuk mereka sebagai subjek politik,” tutupnya. (Agus)
Discussion about this post