Oleh: Imam Emje
Pegiat Bahasa Cerbon dan pendiri Komunitas sketsa pribumi.
Di bulan februari kita mengenal Hari Bahasa Ibu Internasional yang jatuh pada tanggal 21. Unesco telah menetapkan tanggal ini sebagai Hari Bahasa Ibu Internasioanl atas dasar banyaknya bahasa asli daerah yang hilang tiang bulanya. Di indonesia negera yang terdiri dari ribuan pulau memiliki ribuan bahasa pula, termasuk di Jawa Barat. Perda nomor 5 tahun 2003 menetapkan ada 3 bahasa daerah yang ada di Jawa Barat diantaranya Sunda, Cirebon dan Melayu Betawi.
Bahasa Cirebon atau disebut oleh masyarakat setempat sebagai Basa Cerbon ialah bahasa yang dituturkan di pesisir utara Jawa Barat terutama mulai daerah Pedes hingga Cilamaya di Kabupaten Karawang, Blanakan, Pamanukan, Pusakanagara, Pusaka Ratu, Compreng di Kabupaten Subang, Jatibarang di Kabupaten Indramayu, Ligung, Jatitujuh, Sumberjaya, Dawuan, Kasokandel, Kertajati, Palasah, Jatiwangi, Sukahaji dan Sindang di Kabupaten Majalengka sampai Cirebon dan Losari Timur di Kabupaten Brebes di Provinsi Jawa Tengah.
Perdebatan tentang Bahasa Cerbon sebagai sebuah bahasa yang mandiri yang terlepas baik dari Bahasa Sunda maupun Bahasa Jawa telah menjadi perdebatan yang cukup panjang, serta melibatkan faktor politik, pemerintahan, budaya serta ilmu kebahasaan.
Bahasa Cirebon sebagai sebuah dialek bahasa Jawa
Penelitian menggunakan angket sebagai indikator pembanding kosakata anggota tubuh dan budaya dasar (“makan”, “minum”, dan sebagainya) berlandaskan metode Guiter menunjukkan perbedaan kosa kata Bahasa Cirebon dengan Bahasa Jawa di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai 75%, sementara perbedaannya dengan dialek di Jawa Timur mencapai 76%. Untuk diakui sebagai sebuah bahasa tersendiri, suatu bahasa setidaknya membutuhkan sekitar 80% perbedaan dengan bahasa terdekatnya.
Meski kajian linguistik sampai saat ini menyatakan bahasa Cirebon ”hanyalah” dialek (karena penelitian Guiter mengatakan harus berbeda sebanyak 80% dari bahasa terdekatnya), namun sampai saat ini Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003yang kemudiaan di upgrade menjadi Peraturan Daerah Nomor 14 tahun 2014 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra dan Aksara Daerah, masih tetap mengakui Cirebon sebagai salah satu bahasa di wilayah Jawa Baratdan bukan sebagai sebuah dialek. Dalam dunia kebahasaan, satu bahasa bisa diakui atas dasar tiga hal. Pertama, bahasa atas dasar pengakuan oleh penuturnya; kedua, atas dasar politik; dan ketiga, atas dasar linguistik.
Bahasa atas dasar politik, contoh lainnya bisa dilihat dari sejarah Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang sebenarnya berakar dari Bahasa Melayu, seharusnya dinamakan bahasa Melayu dialek Indonesia. Namun, atas dasar kepentingan politik, akhirnya bahasa Melayu yang berkembang di negara Indonesia –oleh pemerintah Indonesia– dinamakan dan diklaim sebagai bahasa Indonesia. Selain alasan politik, pengakuan Cirebon sebagai bahasa juga bisa ditinjau dari batasan wilayah geografis dalam perda itu. Abdul Khak mengatakan, Cirebon disebut sebagai dialek jika dilihat secara nasional dengan melibatkan bahasa Jawa.
Artinya, ketika Perda dibuat hanya dalam lingkup wilayah Jabar, Cirebon tidak memiliki pembanding kuat yaitu bahasa Jawa. Apalagi, dibandingkan dengan bahasa Melayu Betawi dan Sunda, Cirebon memang berbeda.
Bahasa Cirebon sebagai bahasa mandiri
Revisi Perda, sebenarnya memungkinkan dengan berbagai argumen linguistik. Namun, kepentingan terbesar yang dipertimbangkan dari sisi politik bisa jadi adalah penutur bahasa Cirebon, yang tidak mau disebut orang Jawa maupun orang Sunda. Mantan Ketua Lembaga Basa lan Sastra Cirebon almarhum Nurdin M. Noer mengatakan, bahasa Cirebon adalah persilangan bahasa Jawa dan Sunda. Meskipun dalam percakapan orang Cirebon masih bisa memahami sebagian bahasa Jawa, dia mengatakan kosakata bahasa Cirebon terus berkembang tidak hanya ”mengandalkan” kosa kata dari bahasa Jawa maupun Sunda. ”Selain itu, bahasa Cirebon sudah punya banyak dialek. Contohnya saja dialek Plered, Jaware, Suranenggala, Kaliwedian, Gegesik dan wilayah-wilayah lain yang memiliki karakteristik bahasa cerbonnya,” ujarnya. Jika akan dilakukan revisi atas perda tadi, kemungkinan besar masyarakat bahasa Cirebon akan memprotes.
Sastra Cirebon
Selain bahasanya Cerbon juga kaya akan karya sastranya. kekayaan dan keberagaman mesti banyak dipengaruhi oleh Jawa Tengah namun Sastra Cirebon memiliki corak dan warna tersendiri disetiap karya sastranya. Dalam buku Kesusastraan Cirebon karya Untung Rahardjo, S. Sos. Sastra Cerbon dibagi menjadi Masa Cirebon Kuna diperkirakan sejak zaman Hindu hingga akhir abad ke-16. Karya sastra yang berkembang, antara lain berupa kakawen, kidung, gugon tuwon, dan jawokan. Kosakata yang diambil berasal dari bahasa Sansekerta. Masa Cirebon Tengahan mulai awal abad ke-17 sampai akhir tahun 1800-an. Mulai banyak pengaruh lingkungan sekitar, baik dalam kosakata maupun dialek. Karya sastra yang muncul berupa macapat, perlambang / pralampita, sandisastra, sasmita, dan panyandra. Masa Cirebon Baru sejak tahun 1800-an sampai pertengahan 1900. Bahasa Sansekerta dan Kawi sejak menyatu dengan bahasa setempat (Jawa), karena pengaruh pendidikan formal melalui guru-guru yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Karya sastra yang berkembang antara lain wangsalan, parikan, paribasa / pribasa, sanepa, ukara sesumbar, basa prenesan, dan basa rinengga / rineka. Masa Cirebon Modern diperkirakan sejak tahun 1950 sampe sekarang. Di masa tersebut ada beberapa kosakata baru yang berasal dari bahasa gaul. Karya sastra yang ada antara lain geguritan. Ada geguritan yang memiliki patokan (seperti macapat), ada juga yang tidak memiliki patokan (puisi bebas).
Menanti Sikap Pemerintah
Menanti sikap pemerintah kabupaten dalam mempertahankan bahasa cirebon di wilayahnya sendiri. Setelah pemerintah provinsi Jawa Barat sudah menerbitkan perda nomor 5 tahun 2003 bahkan sudah merevisinya menjadi Perda No.14 Tahun 2014. Tapi teteap saja Pemerintah Cirebon khususnya Pemerintah Kabupaten Cirebon seharusnya mempertahankan dan melestarikan bahasa daerah yang ada di wilayah teritorialnya. Kabupaten Indramayu telah memetakan bahasa daerah yang ada di Indramayu dan memperkuatnya dengan perda. Sementara di Cirebon, beragam dialek yang ada di biarkan begitu saja. Pejabat pemerintahpun sudah sangat jarang menggunakan bahasa Cirebon. Pelajar dan remaja lebih berbangga menggunakan bahasa Indonesia ketimbang bahasa Cerbon.
Selain peran pemerintah juga peran media massa dan dunia pendidikandalam hal ini sekolah. Media massa di cirebon kurang memberikan ruang pada bahasa Cerbon, tidak seperti di Yogyakarta dan Bandung banyak ruang-ruang atau kolom yang berbahasa Jawa dan Sunda.
Di dunia pendidikan atau sekolah seharusnya menjadi sektor penentu. Karena 40 % anak – anak atau remaja yang berstatus pelajar menghabiskan waktu di sekolah. Kalau sekolah menekan siswanya menggunakan bahasa Cerbon atau bahasa daerah lainya seperti sunda di wilayah timur perbatasan dengan kuningan dalam berkomunikasi di sekolah.
Selain itu juga mata pelajaran mulok yang diberlakuakn di sekolah-sekolah seharusnya lebih tepat sasaran. Seperti sekolah-sekolah di wiayah barat, utara dan selatan di tekankan mulok Bahasa Cerbon dan wilayah timur yang daerahnya menggunakan bahasa sunda juga menggunakan mata pelajaran bahasa sunda. Agar lebih sinergi dan sama-sama berkembang dan lestari.