Menjadi pertanyaan reflektif bagi kita saat ini adalah apakah program merdeka belajar dari Kemendibudristek selama ini sudah selaras dengan konsep Ki Hadjar ataukah malah sebaliknya, nama besar Ki Hadjar dan konsep-konsepnya hanya dipakai sebagai alat untuk menyakinkan para kritikus kurikulum agar mau menerima program merdeka belajar sekaligus sebagai trik Kemendikbudristek RI untuk ‘membumikan’ konsep merdeka belajar yang menjadi cikal bakal munculnya kurikulum prototipe merdeka belajar kepada seluruh masyarakat Indonesia.
Harapannya konsep dan pelaksanaan merdeka belajar atau kurikulum prototipe merdeka belajar sesungguhnya lahir dari niat suci untuk menghidupkan kembali ajaran Ki Hadjar Dewantara bukan hanya dipakai sebagai pembungkus munculnya kurikulum baru agar terkesan orisinil produk asli Indonesia.
Terlepas dari polemik yang ada, program merdeka belajar harus tetap diimplematasikan di sekolah sesuai dengan tujuan mulianya. Model pembelajaran diferensiasi yang menjadi ciri khas dari kurikulum merdeka belajar telah memberikan ruang bagi peserta didik untuk berkembang menurut bakat dan kemampuannya masing-masing. Anak didik tidak hanya mempelajari matapelajaran jurusan saja tetapi individu yang bersangkutan juga diberikan kebebasan untuk mempelajarai bidang lain sesuai dengan pilihan minat dan bakatnya.
Guru perlu dilatih untuk mengubah paradigma berpikir dalam mendidik siswa-siswi dari kebiasaan mendorong anak didik untuk siap berkompetisi dan mengejar prestasi di kelas menjadi guru yang lebih fokus pada niat untuk membimbing dan melatih anak didik agar bisa memperkuat dan mengembangkan bakat, minat dan potensi mereka masing-masing. Mengubah pola mendidik dari menyiapkan anak didik menjadi competitor di kelasnya menjadi peserta didik yang suka berkolaborasi dan saling support.
Di sini, guru berperan untuk memberikan stimulus terhadapa peserta didik agar mau berkolaborasi, saling menguatkan dan mendukung pengembangan bakat dari masing-masing peserta didik di kelasnya. Untuk mendukung proses ini, maka pertama-tama guru wajib mengetahui dan memiliki data mengenai potensi dan bakat masing-masing peserta didik sebelum diberikan bimbingan dan penguatan pada proses pembelajaran selanjutnya.
Salah satu cara yang dapat dilakukan guru untuk mengetahui bakat, minat dan potensi peserta didik adalah dengan melakukan assesment diawal semester dan hasilnya dapat dijadikan sebagai acuan bagi guru tersebut dalam membuat kerangka kerja (roadmap) pembimbingan, pembelajaran dan pelatihan.
Dengan demikian, paradigma tujuan pelaksanaan tes ini tentu saja sangat berbeda dengan tes yang pernah dilakukan pada kurikulum 2013 atau kurikulum-kurikulum sebelumnya. Jika pada kurikulum sebelumnya tes dilaksanakan hanya untuk menentukan kelulusan atau kegagalan seorang peserta didik maka pada kurikulum merdeka, tes hanya dimaksudkan untuk memberikan masukan bagi guru dalam mengelompokkan potensi anak didik dan mengevaluasi perkembangan belajar mereka sehingga guru dapat menyusun rencana pembelajaran selanjutnya dan bagi peserta didik, deskripsi perkembangan hasil belajar mereka digunakan sebagai bahan evaluasi diri dan informasi bagi orangtua.
Adanya perbedaan tujuan dilakukannya tes antara kurikulum merdeka dan kurikulum-kurikulum terdahulu lainnya diharapkan dapat membawa angin baru bagi komunitas sekolah dan orangtua peserta didik yang selalu cemas ketika akhir tahun pelajaran tiba. Sekolah tidak perlu repot lagi memikirkan cara ‘curang’ untuk membantu menyelamatkan peserta didik mendapatkan nilai ujian yang tinggi, tetapi tugas guru Kembali ke fungsi semula yakni mendidik anak dengan penuh kasih sayang agar mencapai cita-citanya dengan segala potensi yang dimilikinya.
Perubahan fundamental terkait tujuan pelaksanaan tes pada kurikulum merdeka ini juga tentu saja akan membahagiakan peserta didik sehingga tidak akan ada lagi kisah anak yang stres atau putus asa karena mendapatkan nilai rendah atau dinyatakan tidak lulus oleh lembaga pendidikannya. Tujuan pendidikan seperti inilah yang diharapkan oleh Ki Hadjar Dewantara yakni sekolah diharapkan menjadi sebuah ‘taman yang indah’ bagi peserta didik untuk belajar dan mengembangkan potensi yang dimilikinya demi menumbuhkan jiwa merdeka, bahagia lahir dan bathinnya.
Perbedaan-perbedaan tugas guru yang sangat mencolok pada kurikulum merdeka dibandingkan dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya tentu tidaklah mudah untuk diterapkan di lapangan, diperlukan waktu yang cukup untuk mengubahnya apalagi kalau kebiasaan itu sudah sangat lama dipraktikan di sekolah. Guru perlu mendapatkan pelatihan, bimbingan dan pengawasan secara terus-menerus.
Model pelatihan dan pengawasan yang hanya mengandalkan daring daripada pengamatan langsung di lapangan tentu tidak bisa dijadikan tolok ukur utama bagi evaluator atau mentor dalam menyimpulkan bahwa guru tersebut sudah berkompeten dalam melaksanakan kurikulum merdeka.
Melayani anak atau berhamba pada anak dengan teknik among pun tidaklah mudah untuk dijalankan. Dalam praktiknya, teknik ini menuntut pendidik untuk bersikap merendah, sabar dan tulus hati dalam memberikan bimbingan dan pendampingan serta dorongan agar anak didik bertumbuh-kembang sesuai dengan kodratnya.
Perilaku di atas, tentu saja menuntut kesiapan mental, perubahan cara berpikir dan sikap guru dari kebiasaan memerintah berubah menjadi melayani. Guru yang dianggap paling tahu dan paling benar sehingga layak untuk diikuti dan dilayani berubah menjadi siap melayani kebutuhan peserta didik dengan penuh kesabaran. Secara psikis, guru pun pasti merasa takut dan cemas jika ketulusan, kesabarannya dalam melayani peserta didik dimaknai secara keliru oleh masyarakat atau peserta didik yang berujung pada “perundungan” guru.
Kolaborasi antar guru mata pelajaran dalam menyelesaikan sebuah tugas projek tertentu di sekolah akan menjadi masalah dalam pelaksanaannya jika budaya kerja, suasana bathin, persepsi dan relasi antar guru di sekolah tersebut tidak saling mendukung dan kurang harmonis.
Kultur dan tingkat peradaban setiap daerah yang bervariasi di Indonesia tentu dapat mempengaruhi cara pandang penerimaan masyarakat baik internal maupun eksternal sekolah dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan program merdeka belajar.
Simplifikasi problem yang dihadapi guru di lapangan terkait implementasi kurikulum baru tentu bukanlah sesuatu yang bijak dan bahkan hal ini sangat berbahaya bagi masa depan Pendidikan Indonesia. Penerapan kurikulum baru oleh pemerintah yang tergesagesa tanpa melalui persiapan dan evaluasi yang matang bisa saja akan menimbulkan persoalan baru bagi para stakeholders di lapangan.
Pelaksanaan program guru penggerak, kepala sekolah penggerak dan sekolah penggerak yang masif dilakukan selama ini segera dievaluasi dengan melibatkan pihak independen, pemerhati pendidikan agar hasilnya lebih objektif. Guru yang telah mendapatkan pelatihan terkait kurikulum baru belum tentu langsung sukses mempraktikkannya di sekolahnya.
Kompleksitas persoalan yang ada di sekolah seperti budaya kerja, kesejahteraan guru, perbedaan kultur masing-masing individu yang ada di sekolah, motif peserta didik pergi ke sekolah, dukungan dari masyarakat dan lingkungan menjadi variabel yang turut berpengaruh terhadap keberhasilan sebuah program bisa dijalankan.
Pengalaman dan pengamatan penulis terhadap proses pembelajaran di sekolah ketika terjadi perubahan kurikulum diawal peluncuran program adalah para guru biasanya antusias. Para guru dan sekolah (entah karena terpaksa atau diwajibkan?) berebutan untuk mengikuti pelatihan pada awal proyek sosialisasi kurikulum baru tersebut, namun lambat laun setelah dukungan finasial terhadap pelaksanaan program selesai, maka guru yang telah mengikuti pelatihan itupun kembali ke cara lama dalam pembelajaran.
Akhirnya hanya demi laporan, praktiknya pun dibuat indah agar terkesan seolah-olah berhasil dan mudah dijalankan tanpa hambatan padahal fakta di lapangan menunjukkan situasi sebaliknya. Lahirnya program merdeka belajar, yang bermuara pada implementasi kurikulum merdeka mesti disambut baik oleh para pendidik, peserta didik, dan orang tua di sekolah. Kurikulum merdeka sebagai sebuah pedoman dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran berisi tujuan, muatan materi pelajaran dan metode pembelajaran, tentu bertujuan baik demi menjawab keresahan banyak pihak terkait pendidikan di Indonesia selama ini.
Kemendikbud dalam laman https://ditsmp.kemdikbud.go.id, menyebutkan terdapat 3 (tiga) keunggulan kurikulum merdeka dibandingkan dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya, diantaranya; (1) Materi pembelajaran yang dikembangkan lebih sederhana, fokus pada materi yang esensial dan pengembangan kompetensi peserta didik, (2) Guru diberikan kemandirian dan kebebasan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan karakteristik sekolah dan tahap perkembangan atau capaian peserta didik. Khusus pada jenjang SMA, peserta didik nantinya akan memilih mata pelajaran sesuai dengan minat dan bakatnya tanpa harus diplotkan dalam peminatan tertentu dan (3) Pembelajaran di sekolah lebih aktual, relevan dan interaktif.
Hal ini nampak dalam kegiatan pengembangan karakter peserta didik melalui proyek penguatan profil Pancasila dengan mengeksplorasi isu-isu aktual di lingkungan sekolah atau masyarakat. Konsep merdeka belajar telah mendorong terwujudnya ruang bagi guru dan peserta didik untuk bebas dari belenggu Pendidikan yang sentralistik dan kaku selama ini.
Guru dan sekolah diberikan kemandirian dan kemerdekaan untuk mengelola kurikulum di sekolahnya. Pelaksanaan tes disekolah bukan lagi dimaksudkan untuk mengukur kemampuan atau prestasi kognitif peserta didik.
Tes tidak lagi berfungsi untuk menentukan seorang anak lulus atau gagal tetapi dalam paradigma kurikulum merdeka, hasil tes di sekolah hanya akan digunakan sebagai bahan masukan bagi guru dalam menyiapkan materi pembelajaranya demi memberikan layanan pendidikan yang optimal dan tepat sasar sesuai dengan bakat, minat dan aspirasi serta fase perkembangan masing-masing peserta didik. Dengan demikian, anak ke sekolah bukan untuk berkompetisi, bersaing satu dengan yang lainnya tetapi berkolaborasi agar semua potensi masing-masing anak bisa dikembangkan.
Oleh: Marselino Giovani Patu, S.Pd.,M.Pd.
(Inisiator dan penggerak utama “Pena Harapan” SMAN 1 Kota Komba)