KUNINGAN, (FC).- Sikap Legislatif (DPRD) Kabupaten Kuningan terkait isu perubahan status Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) ke Taman Hutan Raya ( Tahura) yang terkesan cukup “reaktif” dengan dibentuknya Pansus yang mereka (Legislatif) sebut hanya sebagai Pansus evaluasi TNGC.
Tentunya tak berlebihan jika memunculkan berbagai prasangka “miring” dari berbagai elemen masyarakat. Terlebih jika dikaitkan bahwa sebelum muncul isu penurunan status TN telah muncul berbagai persoalan yang menyangkut nasib masyarakat. Hal tersebut disampaikan Pemerhati Kuningan Sujarwo, Selasa (17/3).
“Satu diantaranya yang telah menjadi persoalan cukup lama, yakni terkait nasib masyarakat yang terdampak pembangunan waduk Cileuweung. Apakah persoalan yang sudah berlangsung cukup lama, kurang menarik bagi mereka yang bergelar Wakil Rakyat Yang Terhormat (anggota DPRD) untuk membela rakyat Kawungsari dengan pembentukan Pansus?,” tanya Mang Ewo panggilan akrab Sujarwo.
Sangat disesalkan, lanjut Mang Ewo, jika dalam penyikapan persoalan yang muncul di masyarakat dari Lembaga Legislatif tingkat reaktifitas anggota Dewan terkesan “pilih tebang”. Kalaupun akhirnya muncul asumsi di sebagian kalangan masyarakat lembaga Legislatif lebih “tertarik” membahas persoalan yang berniliai “komersial” di banding yang bersifat sosial, tentunya juga tak dapat disalahkan.
“Terkait munculnya kesan hyper-aktif dari Lembaga Legislatif terhadap isue penurunan status TNGC dengan dibentuknya Pansus Evaluasi TNGC, dikhawatirkan juga akan dapat melukai perasaan masyarakat yang saat ini tengah dalam kondisi penuh keprihatinan dampak dari merebaknya berbagai persoalan,” ungkap Mang Ewo.
Besarnya anggaran yang dibutuhkan sebuah Pansus, masih Mang Ewo, juga akan menjadi keprihatinan tersendiri dari masyarakat di tengah kesusahan yang saat ini sedang menimpa rakyat. bahkan muncul kesan, anggota DPRD terkesan sangat menikmati pemborosan uang rakyat yang ada dalam APBD 2020.
“Alangkah eloknya jika Lembaga Legislatif (DPRD) ketika hendak menyikapi suatu permasalahan yang berkembang dalam masyarakat dengan ditindaklanjuti pembentukan Pansus, didasarkan pada skala prioritas,” kata Mang Ewo.
Artinya, Lanjut Mang Ewo, Pansus Evaluasi TNGC tidak terlalu mendesak jika dibandingkan dengan persoalan masyarakat Kawungsari yang terdampak pembangunan waduk Cileuweung. Hal lain yang masih memunculkan pertanyaan dalam masyarakat terkait cepatnya pembentukan Pansus yang kata mereka (anggota Legislatif pendukung Pansus) dimaksudkan sekedar untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja BTNGC, tentunya terkesan terlalu “mewah”.
“Jika maksudnya hanya sekedar melakukan evaluasi kinerja BTNGC, rasanya cukup oleh Komisi terkait (misalnya Komisi 2), sehingga tak perlu menghamburkan ratusan juta uang rakyat untuk membiayai Pansus,” sindir Mang Ewo.
Terpisah, Ketua Partai Gerindra H. Dede Ismail mewakili Fraksi Gerindra Bintang yang memilih tidak ikut menjadi bagian terhadap Pansus tersebut, menyampaikan bahwa pihaknya telah menyampaikan telah sepakat ada hal yang lebih penting yang dianggap sifatnya urgen, sebagai contoh kasusistis waduk Cileweung, kaitan ganti rugi dan lainnya.
“Kemudian kita menyampaikan lebih efektif duduk bersama membahas keberadaan TNGC, kita undang semua, orang – orang yang punya kepentingan. Seperti Bupati, Wakil Bupati, 50 anggota DPRD, pakar ahli lingkungan hidup dan lainnya, bila perlu seluruh kepala SKPD dan camat, didalamnya juga ada TNGC. Posisinya kita ambil jalan tengah. Kita ingin kembalikan kedaulatan pemerintah daerah, kita harus akui memang bahwa TNGC kurang sinergitas dalam pelaksanaan dan kinerjanya,” jelas Deis panggilan akrab Dede Ismail.
Disebutkan Deis, bahwa selama ini belum terdengar gaung TNGC seperti contoh TNGC menanam pohon sebanyak 10.000 pohon, atau lainnya, seperti informasi gunung ciremai bahwa ada gunung – gunung kecil yang belum kita ketahui.
“Maka kita sependapat apabila semua pihak bisa duduk bersama jika koordinasi bagus maka tidak perlu namanya Pansus,” kata Deis. (Ali)
Discussion about this post