KOTA CIREBON, (FC).- Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang mulai berlaku pada 18 September 2021., ternyata banyak mendapatkan penolakan.
Terutama dari para nelayan dan pengusaha ikan, termasuk di Kota Cirebon karena dirasaknnya memberatkan.
Atas penolakan tersebut, melakukan unjuk rasa di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Kejawanan Kota Cirebon, Kamis (30/9).
Ramlan Padapotan, salah satu pemilik kapal mengatakan, pihaknya keberatan dengan diterbitkan PP 85 Tahun 2021.
Yang menaikkan pungutan hasil perikanan tarif PNBP hingga 400 persen. Ini menimbulkan dampak yang luar biasa dan merugikan para pelaku usaha dan nelayan diseluruh Indonesia.
“Bila PP ini tetap diterapkan, maka jangan harapo ada kapal-kapal nelayan yang melaut lagi. Pasalnya, untuk bayar pajaknya terlalu tinggi dan memberatkan kami,” tegasnya kepada FC.
Pihaknya memohon kepada Menteri Kelautan dan Perikanan RI untuk meninjau kembali PP Nomor 8 tahun 2021, agar tidak memberatkan nelayan dan pemilik kapal.
“Yang biasanya kita bayar pajak itu Rp80 juta pertahun, tapi dengan PP Nomor 85 tahun 2021 bisa mencapai Rp300 juta lebih pertahun. Dan belum ada sosialisasi terkait PP ini,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua DPC Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Cirebon, Karsudin sangat prihatin melihat anggota HSNI, khususnya nelayan di PPN Kejawanan dengan adanya PP Nomor 85 tahun 2021.
Menurutnya, kenaikan pungutan dalam bentuk penetuan skala persentase kapal ukuran 5-60 grosston sebesar lima persen, 61-1000 grosston sebesar 10 persen dan 1000 grosston ke atas sebagai keputusan yang terburu-buru.
Aturan ini tidak sesuai dengan sumber daya manusia lokal (SDM) dan hanya menguntungkan perusahaan besar. Ini membuka potensi kapal asing untuk semakin banyak beroperasi di perairan Indonesia.
“Penetapan harga patokan ikan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 85 tahun 2021 untuk perhitungan pungutan hasil perikanan dan produktivitas penangkapan ikan dinilai tidak memiliki dasar yang komprehensif karena melupakan dasar pembuatan kebijakan dengan tidak melibatkan organisasi kemasyarakatan terkait,” katanya.
Ia melanjutkan penetapan tersebut tidak memperhatikan musim, kualitas ikan pascatangkap dan lokasi tangkap.
Bahkan ditemukan jenis ikan yang ditemukan memiliki harga jauh lebih rendah daripada harga patokan tersebut yang tentu saja membuat nelayan merugi.
“Pola perhitungan diatas pun sangat merugikan para buruh nelayan yang mayoritas pendapatannya didasarkan pada hasil penjualan tangkapan ikan setelah dikurangi biaya operasional,” katanya.
Ia sangat prihatin melihat terbitnya keputusan menteri tersebut demi peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak dengan menjadikan masyarakat kecil sebagai ‘objek perah’.
“Jika memang KKP belum bisa menemukan cara untuk membantu nelayan, kami mohon agar tidak menambah kesengsaraan nelayan dan masyarakat kecil,” tuntasnya. (Agus)