KAB. CIREBON, (FC).- Memasuki bulan Agustus hingga September para petambak garam yang ada di Desa Rawaurip, Kecamatan Pangeran, Kabupaten Cirebon mulai panen raya.
Di rentang bulan inilah harusnya membawa berkah bagi para petambak garam di wilayaj tersebut.
Musim kemarau yang dinanti, membawa harapan tersendiri, hasil panen garam mereka bisa dihargai tinggi.
Namun, harapan pun selalu pupus, para tengkulak yang menentukan harga garam lagi-lagi harus menerjunkan harga, bahkan sebelum panen raya tiba.
Padahal sejak pagi buta, ratusan petambak garam di desa ini sudah berangkat ke lahan garam mereka, untuk mengais rezeki, memenuhi kebutuhan ekonomi, setiap hari, di tambak garam yang sudah puluhan tahun jadi tumpuan.
Harga garam terus-terusan anjlok, sejak bulan Juni 2024, saat petambak belum banyak memanen garam harganya masih di angka Rp 800 /kg.
Namun, harga itu tak berlangsung lama karena petambak garam harus menerima harga di angka Rp 700 /kg, Rp 600 /kg dan saat panen raya sekarang kembali turun di angka Rp 400 /kg.
“Harganya terus-terusan anjlok, sekarang hanya Rp 400 /kg dan informasinya bakal turun lagi,” keluh salah seorang petambak garam setempat, Wawan, belum lama ini.
Harga Rp 400 /kg pun masih belum bersih. Karena Wawan dan petambak garam lainnya harus membayar upah kuli panggul atau orang setempat menyebutnya dengan istilah pocok.
Upah untuk pocok yang membawa garam hasil panen dari lahan ke tempat penimbang sendiri, perkarung ukuran 50 kg antara Rp 6-7 ribu, tergantung jaraknya.
“Kalau di blok sini upah untuk pocok perkarung enam ribu rupiah. Tapi kalau di blok lain yang agak jauh katanya sih tujuh ribu rupiah perkarungnya,” ungkap Wawan.
Hal sama dirasakan petambak garam lainnya, Sulaeman (41 tahun). Menurut dia, harga garam selama ini ditentukan oleh para tengkulak yang ada di wilayahnya.
Bahkan, mayoritas petambak sejak dulu punya sangkutan dengan para tengkulak, sehingga mereka mengharuskan menjual hasil panen mereka ke tengkulak yang bersangkutan.
“Kita tidak bisa berbuat apa-apa, karena harga yang menentukan penimbang (tengkulak, Red). Sudah biasa kalau sudah banyak garam atau panen raya seperti sekarang ini, penimbang langsung menurunkan harganya,” kata Sulaeman.
Menurut dia, petambak garam di daerahnya belum pernah merasakan harga yang tinggi saat panen raya tiba. Meski lima tahunan lalu, pernah harga garam di angka Rp 4 ribu /kg, tetapi di saat musim penghujan dan stok garam di gudang milik petambak sudah habis. Karena, pada saat itu, dua musim kemarau sebelumnya petambak tidak bisa memproduksi garam sebab cuaca yang tidak mendukung.
“Bahkan pernah juga saat musim hujan itu harganya mencapai enam ribu rupiah perkilogramnya, ya itu karena tidak ada garam, hanya beberapa stok garam di gudang milik penimbang saja saat itu. Tapi saat kembali memasuki musim kemarau dan kita sudah bisa produksi garam, harganya malah anjlok lagi seperti sekarang ini,” ungkapnya.
Cirebon yang merupakan salah satu daerah produksi garam terbesar di Indonesia ini, kesejahteraan petambaknya tidak pernah mendapat perhatian dari pemerintah. Hal itu terbukti, belum adanya penetapan dari pemerintah terkait HET untuk komoditas yang satu ini.
Sehingga, harga garam selama ini hanya ditentukan oleh para tengkulak. Alih-alih stok garam menumpuk dan tidak bisa membuang garam, para tengkulak harus menekan harga sampai terjun bebas. Sehingga, petambak garam tidak pernah merasakan harga garam semanis gula. (Suhanan)