“Kalau mandeg total tidak, kalau mengurangi iya. Karena masih ada negara-negara yang masih bisa menerima. Jadi perusahaan kita yang sama sekali tutup itu tidak ada. Tapi kalau mengurangi (produksi) itu iya,” kata Supriharto kepada FC, Rabu (15/4)
Menurutnya, ditengah kendala ini pasti ada jalan keluar, akan ada win-win solution antara buyer dan produsen rotan. Kuncinya sangat dipengaruhi oleh kesiapan dari buyer atau perusahaan pemesan barang di negara tujuan ekspor itu sendiri.
Sebab, kata dia, walaupun negara ekspor tersebut tidak melakukan lockdown, tetapi perusahaan pemesan atau buyer disana tutup atau libur, otomatis terdampak juga. Sehingga akhirnya pengiriman diundur.
“Jadi dampaknya berbeda-beda tiap perusahaan itu. Ada yang dampaknya karena pembelinya (buyer) disana gak bisa masuk, jadi pengirimannya terhambat, akhirnya produksinya terdampak. Efeknya kesitu. Mungkin yang tadinya kerja 100 persen jadi downgrade ke 50 persen kapasitasnya karena kepastian pengirimannya belum pasti,” ujar Supriharto
Lebih lanjut dia menambahkan, ada juga perusahaan yang ekspornya tidak jalan tapi produksinya masih tetap berjalan, hanya kapasitasnya berkurang 50 persen dari kapasitas normal karena dengan segala perhitungan yang sudah dihitung masak-masak.
“Itu semua ada solusinya. Jadi ada perusahaan yang benar-benar harus survive disaat seperti ini, tapi nanti kalau yang tidak punya PO, perusahaan yang reguler terus berhenti stuck, ini resikonya besar. Begitu disana sudah dibuka, barangnya disini belum siap,” jelas Supriharto. (Andriyana)
Discussion about this post