KAB. CIREBON, (FC).- Blok Posong Desa/Kecamatan Arjawinangun dikenal sebagai desa pengrajin gerabah.
Kerajinan dari tanah liat itu bisa dibuat berbagai jenis kerajinan dengan berbagai bentuk, seperti celengan, kendi, mainan anak-anak, alat dapur dan lainnya.
Seorang pria berusia 70 tahun bernama Jumadi ketika ditemui FC, nampak bersemangat bercerita mengenai profesinya itu.
Kerajinan gerabah yang selama puluhan tahun ditekuninya, merupakan usaha turun temurun yang dilakukan oleh keluarga.
“Saya sudah sejak kecil membuat gerabah ini. Ini usaha milik Ayah saya yang saya terusin sampai sekarang,” ujarnya sambil menghela nafas.
Sambil memandang tumpukan gerabah yang belum juga laku, Jumadi menuturkan, keahliannya membuat gerabah berasal dari ayahnya.
Diawali dengan bagaimana cara memilih dan mengolah mengolah tanah liat, sebagai bahn baku utama gerabah. Karena tidak semua tanah liat bisa menghasilkan gerabah yang bagus, kuat dan mudah dibentuk.
Untungnya, ladang di desanya memiliki kontur tanah liat yang cocok untuk prodiksi gerabahnya.
Dan pemerintah desa setempat, memberinya sewa ladang agar para pengrajin bisa bebas memanfaatkan tanah di ladang tersebut. Dengan biaya sewa pertahunnya Rp2 juta.
“Jika tidak memiliki keterampilan khusus dan ketekunan dalam membuat gerabah, maka yang terjadi adalah gerabah itu susah untuk dibentuk dan hasilnya tidak bagus,” ungkapnya.
Jumadi tidak pelit membuka rahasia proses panjang pembuatan gerabahnya, walaupun hal ini harus membuatnya berfikir keras.
Pasalnya, yang biasa dilakukannya belum tentu bisa diucapkannya secara gamblang dan lancar.
Yang dilakukan pertamaa kali adalah mengambil tanah liat dari ladang, kemudian tanah liat itu dibentuk bulatan-bulatan, lalu disiram, setelah itu diinjak-injak dan dicampur dengan pasir dan langkah selanjutnya diuleni.
Kemudian setelah tanah liat itu diuleni dan dibentuk sesuai dengan yang diinginkan atau dipesan. Kemudian dijemur hingga mengeras, baru dilakukan pembakaran.
Tahap terakhir dari pembuatan gerabah tersebut adalah pengecatan agar lebih menarik lagi.
Uniknya lagi, Jumadi menceritakan ada ritual khusus yang dia percayai ketika dia membuat gerabah-gerabah itu. Yaitu ritual selametan.
Dia beralibi, jika tidak selametan terlebih dulu, maka biasanya gerabah-gerabah itu akan pecah dengan sendirinya.
Namun belakangan jumlah pengrajin di Blok Posong berkurang. Para pengrajin itu memilih untuk kerja sebagai TKI di luar negeri dibanding harus melanjutkan usaha keluarga.
Karena menurut mereka menjadi TKI dinilai lebih menjanjikan daripada menjadi pengrajin gerabah.
Demikian pula dengan Jumadi juga memutuskan akan berhenti membuat gerabah sendiri. Dengan alasan dia sudah tidak sanggup karena faktor usia dan ekonomi.
Banyaknya proses yang dilalui saat membuat gerabah juga banyaknya modal yang dia keluarkan tidak seimbang dengan pemasukan yang didapat.
Upayanya agar kerajinan gerabah terus dilirik oleh orang-orang adalah dengan membentuk gerabah seunik dan seindah mungkin.
Misalnya membentuk gerabah seperti karakter film kartun, buah-buahan, binatang, dll. Tetapi usaha tersebut tetap tidak berhasil.
“Saya capek-capek bikin sebagus mungkin tapi anak-anak tetap gak tertarik,” akunya.
Kini Jumadi hanya mengambil dari para bandar (pembuat gerabah) kemudian dia jual ke pasar bersama dengan Juminah istrinya.
Di masa pandemi ini juga usaha Jumadi terkena imbasnya. Bisa ditaksir kerugiannya mencapai 70 persen.
Itu disebabkan oleh para pemborong yang biasa membeli barang kerajinan miliknya memutuskan untuk berhenti. Akhirnya banyak stok barang yang ‘nganggur’ di gudangnya.
Namun dia yakin, ketika masa meremaan (ramai pembeli) datang yaitu saat mendekati lebaran, gerabah miliknya akan laku lagi.
Harapan Jumadi saat ini adalah pemerintah memberi dukungan berupa permodalan pada usahanya. Agar dia bisa tetap terus melanjutkan usaha turun-temurun itu. (Amel/FC/Job)
Discussion about this post