KAB. CIREBON, (FC).- Wacana penerapan sistem outsourcing di sejumlah perusahaan di Kabupaten Cirebon kembali mencuat. Isu ini mengemuka pasca pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang terjadi di PT Yihong Novatex Indonesia.
Outsourcing dianggap sebagai jalan pintas oleh sebagian pihak, namun menuai kekhawatiran dari kalangan legislatif.
Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Cirebon, Muchyidin dengan tegas menolak anggapan bahwa outsourcing adalah solusi atas persoalan ketenagakerjaan. Ia menyebut sistem ini justru berisiko memperlemah posisi buruh dalam jangka panjang.
“Harapan saya sih jangan outsourcing. Kita semua tahu sistem ini merugikan pekerja, karena perlindungan dan kepastian kerjanya minim,” ujarnya, dalam rilis yang diterima Fajar Cirebon, Minggu (20/4/2025).
Menurutnya, sistem outsourcing kerap membuat pekerja berada dalam posisi yang rentan. Selain tidak memiliki hubungan kerja langsung dengan perusahaan pengguna tenaga kerja, buruh juga seringkali kehilangan hak-hak normatif seperti jaminan sosial dan kepastian upah.
Muchyidin mengakui, hingga saat ini pihaknya belum menerima laporan resmi terkait rencana penerapan outsourcing dari Dinas Tenaga Kerja (Disnaker). Namun, Komisi IV berkomitmen akan memanggil pihak terkait dalam waktu dekat untuk menggali informasi secara lebih komprehensif.
“Kami ingin tahu sejauh mana peran Disnaker dalam menangani dampak PHK, serta bagaimana pengawasan terhadap pola rekrutmen yang akan diterapkan perusahaan. Ini menyangkut hajat hidup orang banyak,” tegasnya.
Isu outsourcing disebut-sebut mulai diadopsi oleh sejumlah perusahaan menyusul ketidakpastian ekonomi dan efisiensi operasional. Namun, bagi DPRD, efisiensi tidak bisa dibayar dengan mengorbankan hak-hak buruh.
“Kalau outsourcing diberlakukan tanpa perlindungan hukum yang jelas bagi pekerja, itu bentuk ketidakadilan. Kami tidak akan tinggal diam,” tegas Muchyidin.
Mendorong Dialog, Bukan Pemaksaan Lebih lanjut, Komisi IV juga tengah mendorong pendekatan dialogis antara pekerja, perusahaan, dan pemerintah daerah. Langkah ini dilakukan agar setiap keputusan terkait ketenagakerjaan melibatkan seluruh pihak yang terdampak langsung.
“Kami akan mengajak asosiasi pengusaha, serikat buruh, dan pihak terkait lainnya untuk duduk bersama. Keputusan apa pun harus mencerminkan kepentingan buruh, bukan hanya perusahaan,” ujarnya.
Muchyidin menekankan bahwa DPRD tidak dalam posisi memihak siapa pun, namun berpijak pada fungsi pengawasan dan perlindungan masyarakat. “Ukuran kami jelas: kepentingan rakyat,” katanya.
Di tengah upaya penataan sistem kesehatan dan regulasi lainnya seperti Universal Health Coverage (UHC), Muchyidin menyebut bahwa urusan ketenagakerjaan tetap menjadi prioritas. Ia tak ingin pekerja lokal justru termarjinalkan di daerahnya sendiri.
“Para pekerja harus tetap punya masa depan. Jangan sampai mereka jadi korban sistem yang tak berpihak,” pungkasnya. (Suhanan)
Discussion about this post