KOTA CIREBON, (FC).- Makin berkembangnya teknologi makin maju pula manusia. Begitu juga dengan para penjual jamu gendong.
Dulu, penjual jamu gendong yang membawa cepon (bakul) jamunya dengan sewet (selendang) khas tukang jamu dengan kebaya khas Jawa, dapat mudah ditemui di desa-desa.
Namun kini semakin berkurang, bahkan dapat dikatakan sangat susah ditemui atau langka.
Inem, salah satu penjual jamu gendong yang tersisa. Ia menuturkan, kawan-kawannya yang sesama penjual jamu gendong sudah banyak yang berhenti atau bahkan sudah tiada.
Sehingga, hanya tersisa sedikit yang masih menjaga eksistensi dan ciri khas jamu gendong saat ini.
Penjual jamu gandong asal Wonogiri ini menyampaikan bahwa alasan dirinya masih bertahan dengan khas tradisional sendiri dikarenakan ketidakmampuannya untuk menunggangi sepeda.
Disisi lain keinginan dirinya untuk menjaga ciri khas penjual jamu yaitu dibawa dengan bakul dan digendong.
“Ya jamu gendong namanya, ya jamunya dibakul dan digendong pake sewet (selendang) khas, dengan pakai kebaya. Kalau ga pake kebaya ya bukan Jamu gendong namanya,” bebernya dengan bahasa jawa.
Dengan pengalaman berjualan jamu 12 tahun di Kabupaten Indramayu dan di Cirebon kurang lebih 20 tahunan jugalah yang membuat mbah Inem enggan mengubah budaya jamu gendong.
Namun, dikarenakan usianya yang sudah renta ia hanya berjualan di kawasan Jalan Buyut Pegambiran, Kutasirap.
“Saya cuma berjualan disini, dari pertigaan pronggol sampe bawah flyover yang jualan sate tuh, trus pulang pergi saya naik becak,” katanya kepada FC.
Baginya, berjualan jamu gendong bukan hanya untuk mengais rezeki melainkan melestarikan budaya leluhur. Setiap hari Inem keliling menjajakan jamu carican tradisionalnya.
Diantaranya terdapat Kunyit asem, beras kencur, anggur, manis, jahe, suruh, dan tentunya air panas dalam termos untuk menyeduh jamu instan.
Jamu instan yang dibawa Inem sendiri diantaranya ada buyung upik, pegel linu, dan masih banyak lagi. Pastinya, dengan harga murah yaitu kisaran Rp4.000 untuk setiap jakunya termasuk jamu racik dadakan.
“Jamunya harganya Rp4.000an saja, untuk pendapatan ya nggak nentu. Apalagi masa pandemi Covid-19 gini, tapi cukup untuk makan sehari-hari ,” ujarnya sembari tersenyum.
Semasa, pandemi Covid-19 seperti ini setidaknya Inem menjual puluhan kantung plastik berukuran 15×4 cm jamu dan puluhan sachet jamu instan lainnya. (Sarrah/Job/FC)