KAB. CIREBON, (FC).- Polemik pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), makin berkembang.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Cirebon, Ida Khartika angkat bicara soal kenaikan pajak hiburan hingga penghapusan pajak kosan dalam UU HKPD ini.
Secara organisasi, PHRI Kabupaten Cirebon menolak keras kenaikan pajak hiburan yang melambung tinggi.
“Kenaikan pajak dari 40 sampai 75 persen itu kita tidak terima. Kalaupun mau diberlakukan belum saatnya karena kita masih recovery dari pandemi ke endemi,” tegasnya kepada FC, Kamis (18/1).
Menurutnya, dunia usaha hiburan baru saja bangkit dari keterpurukan selama pandemi Covid, namun sudah terpukul lagi dengan adanya kenaikan pajak hiburan ini.
Dalam UU No1/2022 Pasal 58 menyebutkan, khusus tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
Selain menolak kenaikan pajak hiburan, PHRI Kabupaten Cirebon juga menolak penghapusan pajak kos-kosan.
“Kita sangat keberatan, kenapa cuma hotel, rumah kos-kosan mana?. Itu kan berarti mematikan dunia usaha perhotelan,” ungkap Ida.
Ida mengatakan, pengelola perhotelan merasa dirugikan dengan adanya penghapusan pajak kosan ini.
“Kita tidak setuju. Mohon semuanya ditinjau ulang,” ungkapnya.
Sebelumnya, ketentuan mengenai pajak kos-kosan diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRB).
Dalam UU 28/2009 itu dijelaskan bahwa rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 masuk dalam kategori hotel, sehingga dikenakan pajak daerah.
Pada Pasal 35 ayat 1 disebutkan bahwa tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi 10 persen.
Selain kenaikan pajak hiburan dan penghapusan pajak kosan, PHRI memprotes adanya perbedaan pengenaan pajak Spa dengan Panti Pijat.
“Spa kan kena pajak, tapi panti pijat tidak kena. Lho, bukannya sama!?,” tegas Ida.(Andriyana)