Penulis : Wawan Riswandi, S.Th.I
(Kepala KUA Kec. Cidahu Kab. Kuningan)
Ketika seorang laki-laki dan perempuan yang menikah secara sah seharusnya sudah mempunyai kesadaran penuh bahwa keluarga adalah organisasi kecil yang memiliki aturan dalam pengelolaannya. Karena itu, antara keduanya baik suami maupun istri harus memperlakukan, mempergauli, menjaga dan merawat pasangannya secara ma’ruf (Mu’asyarah bi al-Ma’ruf), agar terus bahagia dunia dan akhirat. Ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan hal tersebut termasuk ke dalam salah satu dari sekian banyak ayat-ayat pilar rumah tangga.
Begitu pentingnya konsep Mu’asyarah bil Ma’raf dalam rumah tangga, maka secara formal dalam sighat ta’lik buku nikah pun dicantumkan istilah ini dengan kalimat “mempergauli istri dengan baik (Mu’asyarah bil Ma’ruf) menurut ajaran Islam”. Di masyarakat, istilah ini seringkali dimaknai sebagai pergaulan baik yang harus dilakukan suami istri bahkan lebih khususnya lagi hanya dipahami sebagai perintah Allah kepada para suami untuk mempergauli istrinya dengan baik tidak meyakitinya baik dengan ucapan maupun perbuatan. Oleh karena itu, para ulama menetapkan hukum melakukan mu’asyarah bi al-ma’ruf sebagai kewajiban yang harus dilakukan oleh para suami agar mendapatkan kebaikan dalam rumah tangga. Seperti penafsiran Imam Ath-Thabari dalam kitab Tafsirnya, ketika menafsirkan Alquran Surat An-Nisa ayat 29, mengatakan bahwa mu’asyarah bi al-ma’ruf adalah kewajiban suami terhadap istri karena para istri telah taat kepada Allah dan suaminya.
Di kalangan para ulama pun cenderung pemaknaan Mu’asyarah bil Ma’raf ini masih berkutat pada pemahaman yang seperti diatas. Ada beberapa pendapat dalam memahami mu’asyarah bi al-ma’rufini,salah satunya memaknai dengan ”memperbaiki ucapan, perbuatan, penampilan”. Pendapat yang sedikit berbeda dengan pemahaman di atas, adalah pendapat yang diungkapkan oleh KH. Husein Muhammad yang menitik beratkan pengertian mu’asyarah dengan bergaul atau pergaulan karena di dalamnya mengandung kebersamaan dan kebertemanan. Pendapatnya ini lebih menarik karena mencoba menjelaskan tentang adanya kesalingan dalam memaknai Mu’asyarah bil Ma’raf antara suami-istri tidak hanya dipahami sebagai kewajiban suami terhadap istri saja.
Meskipun demikian, pemaknaan Mu’asyarah bil Ma’raf ini masih bisa dikembangkan lagi dengan pendekatan tafsir kontekstual yang secara spesifik berkaitan dengan hukum keluarga.
Di antara ayat Alquran yang secara langsung menyebutkan istilah Mu’asyarah bil Ma’raf dalam konteks relasi hubungan suami-istri adalah surat An-Nisa’ ayat 19:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.”
Asbab al-Nuzul dari ayat ini adalah sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori, Abu Dawud dan An-Nasai yang bersumber dari Ibnu Abbas bahwa di zaman Jahiliyah apabila seorang laki-laki meninggal, wali si mati lebih berhak daripada istri yang ditinggalkannya. Sekiranya si wali ingin mengawininya atau mengawinkan kepada orang lain, ia lebih berhak daripada keluarga wanita itu. Maka turunlah ayat tersebut (Al-Nisa ayat 19) sebagai penegasan tentang kedudukan wanita yang ditinggal suaminya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dengan sanad hasan yang bersumber dari Abu Umamah bin Sahl bin Hanif (Hadits ini diperkuat oleh riwayat Ibnu Jarir yang bersumber dari Ikrimah), bahwa ketika Abu Qais bin Al-Aslat meninggal, anaknya ingin mengawini istri ayahnya (ibu tiri). Perkawinan seperti ini adalah kebiasaan di jaman jahiliyah. Maka Allah menurunkan ayat tersebut (An-Nisa ayat 19), yang melarang menjadikan wanita sebagai harta waris.
Imam Ath-Thabari menafsirkan ayat di atas, apabila para istri menaati Allah SWT dan menaati suami-suami mereka, maka wajib bagi suami untuk membaguskan pergaulannya dengan istrinya, menahan dari memberikan gangguan/menyakiti istrinya, dan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya. (Tafsir Ath-Thabari, jil. 2, hal. 466).
Dilihat dari konteksnya ayat ini jelas merupakan bentuk perlindungan dari Allah SWT untuk para perempuan yang seringkali pada jaman Jahiliyah menjadi obyek yang tersudutkan oleh laki-laki hampir dalam berbagai aspek kehidupan tidak terkecuali dalam masalah hukum keluarga. Oleh sebab itu ayat ini harus difahami dengan spirit untuk menghilangkan stigma perempuan yang subordinatif dari laki-laki.
Istilah Mu’asyarah bil Ma’rufseharusnya difahami sebagai sebuah idiom kata yang artinya bahwa istilah tersebut tidak bisa diartikan sendiri-sendiri secara terpisah tetapi harus dimaknai secara utuh sebagai sebuah kalimat untuk mendapatkan pemahaman yang komperhensif dan mendalam.
Meskipun demikian, mengetahui makna satu persatu dari dua kata pokok (Mu’asyarah dan Ma’ruf) itu juga penting. Kata Mu’asyarah berasal dari kata usyrah, yang secara bahasa berarti: keluarga dan teman dekat. Dalam bahasa Arab dibentuk berdasarkan sighah musyarakah baina al-itsnaini, yang berarti kebersamaan di antara dua belah pihak, oleh sebab itu kata ini diartikan bergaul atau pergaulan karena di dalamnya mengandung kebersamaan dan kebertemanan. Karena mu’asyarah sebagai kesalingan antara suami dan istri, maka dalam prosesnya kesalingan itu harus berlaku seimbang antara suami dan istri.
Sedangkan pengertian ma’ruf secara bahasa berakar dari kata ‘urf, yang berarti adat, kebiasaan atau budaya. Adat atau kebiasaan adalah suatu yang sudah dikenal dengan baik oleh suatu masyarakat. Dan kata ma’ruf secara istilah memiliki pengertian setiap hal atau perbuatan yang oleh akal dan agama dipandang sebagai suatu yang baik.
Pemilihan kata atau diksi dalam Alquran yang menggunakan kata ma’ruf untuk disandingkan dengan mu’asyarah, bukan dengan padanan kata yang lainnya padahal jumlahnya cukup banyak dalam Alquran. Hal ini juga merupakan sesuatu yang sangat menarik. Kata Ma’ruf dalam Alquran diulang sebanyak 39 kali dalam 12 surat, padanan kata yang lain seperti kata ihsan diulang sebanyak 186 kali dalam 53 surat dan kata khair sebanyak 188 kali dalam 52 surat yang ketiga kata ini secara Zhahirnya mempunyai arti yang sama yaitu “baik”. Belum lagi ada kata thoyyib, birr dan ‘amal shaleh yang terdapat dalam Alquran yang memiliki pemaknaan yang hampir serupa.
Penggunaan kata ma’ruf dalam mu’asyarah bil ma’ruf sangatlah tepat karena darisana dapat difahami bahwa kesalingan yang dilakukan antara suami-istri dalam pergaulannya di keluarga tidak sebatas dalam perbuatan baik semata, tetapi harus sampai pada konteks bisa saling mengenal dan saling memahami yang dilandasi dengan spirit melakukan kebaikan. Bahkan proses saling mengenal dalam kebaikan tersebut bukan hanya antara suami-istri saja tapi dengan seluruh anggota keluarga. Itulah makna mu’asyarah bil ma’ruf yang dipahami secara utuh sebagai sebuah idiom.
Dengan demikian, asumsi yang berkembang di masyarakat bahwa masih banyak yang menganggap pengertian mu’asyarah hanya sebatas pergaulan suami-istri bahkan dalam bentuk hubungan seksual semata harusnya dapat dipatahkan. Oleh karena itu, sering terjadi pasangan suami-istri bisa melakukan hubungan seksual dengan baik, tetapi dalam interaksi sosialnya masih kurang, sehingga sering terjadi pertengkaran dalam rumah tangga, bahkan sampai menjadi penyebab terjadinya perceraian. Padahal seharusnya istilah ini bisa lebih difahami secara lebih luas dari sisi biologis, psikologis maupun sosiologis.
Jika dipahami secara komperhensif, maka mu’asyarah bil ma’ruf pun bisa seperti yang digambarkan Rasulullah SAW bahwa pernikahan merupakan sarana untuk mengatur hubungan seksual secara legal, karena itu keduanya memiliki kepentingan dan tujuan yang sama, tidak mengandung unsur subordinal dan memarjinalisasikan salah satu dari keduanya. Pernikahan pada dasarnya bukan hanya menyatukan dua insan berbeda jenis kelamin yang dilandasi saling menyukai untuk berkomitmen hidup sakinah, namun pada dasarnya pernikahan merupakan sebuah proses mempertemukan dua keluarga secara kultural, itulah mengapa pada aspek mu’asyaroh bil ma’ruf antara suami istri, tidak hanya fokus pada keberadaan suami-istri semata tetapi juga meliputi cara mendidik anak, kekerabatan dengan keluarga kedua belah pihak suami maupun istri dan kehidupan bertetangga maupun bersosial.
Dari pembahasan di atas dibutuhkan sikap toleransi dan lapang dada untuk mempermudah peran masing-masing suami dan istri dalam rumah tangga dalam membentuk keluarga yang bahagia. Yang dimaksud dengan menggauli dengan baik adalah: akhlak yang baik, lembut, bicara pelan dan tidak kasar, mengakui kesalahan dan kekhilafan yang semua orang pasti pernah melakukannya. Sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad Saw, “Yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya dan aku orang yang paling baik kepada keluargaku”.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa mu’asyarah bil ma’ruf dapat dimaknai sebagai suatu konsep kesalingan dan kerjasama yang utuh antara suami dan istri untuk menghadirkan setiap perbuatan baik dalam interaksinya di keluarga yang dilandasi saling mengenal dan memahami bahkan dengan seluruh anggota keluarga lainnya, baik dalam masalah biologis (misalnya, hubungan seksual), psikologis (saling memberikan kenyamanan dan kebahagiaan) maupun sosiologis (menjaga kehormatan dan martabat masing-masingnya ditengah-tengah masyarakat). Dalam konteks pelaksanaannya konsep ini harus mengedepankan prinsip pemaknaan yang berimbang artinya mu’asyarah bil ma’ruf harus dilakukan oleh suami kepada istrinya dan juga sebaliknya.***