KAB. CIREBON, (FC).- WCC Mawar Balqis lembaga pendampingan perempuan dan anak korban kekerasan melakukan pendokumentasian atas kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi selama tahun 2020.
WCC Mawar Balqis yang merupakan anggota Forum Pengada Layanan ( FPL ) tahun lalu 2019 mencatat 144 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di wilayah Cirebon.
Angka tersebut merupakan hasil kompilasi dari laporan pengaduan di P2TP2A Kabupaten Cirebon dan unit PPA Polres Cirebon.
Manager Program WCC Mawar Balqis Sa’adah menyebutkan, pada tahun 2020 pihaknya mencatat 240 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Angka tersebut merupakan angka yang terlaporkan, dan merupakan kompilasi dari data pengaduan yang ada di unit PPA Polres Cirebon dan P2TP2A Kabupaten Cirebon.
“Dari angka tersebut, 80 persen berasal dari pengaduan masyarakat Kabupaten Cirebon, selebihnya adalah laporan daerah wilayah lain di Ciayumajakuning. Pada masa pandemi, tidak menyurutkan angka kekerasan seksual dan KDRT, karena dua bentuk kekerasan tersebut yang paling banyak dilaporkan,” jelasnya kepada FC, Minggu (21/2).
Korban kekerasan seksual, lanjutnya, didominasi usia anak dari mulai 6 sampai 13 tahun, dengan pelaku orang terdekat keluarga dekat (suami, ayah, paman, ipar, sepupu).
Begitu juga dengan kekerasan seksual yang menimpa korban usia dewasa pelakunya berasal dari lingkungan terdekat (teman dekat, tetangga, atasan/rekan kerja).
Tantanan penanangan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sangat banyak, diantaranya perspektif masyarakat yang masih menganggap korban adalah aib.
Belum lagi akses layanan dari mulai kesehatan, hukum dan psikologis yang masih terbatas untuk wilayah di Ciayumajukuning.
Dari 81 Kasus KDRT yang diterima pihaknya, hampir semuanya kasus berujung pada perceraian.
30 kasus disebabkan kekerasan fisik dan psikis, 51 kasus penelantaran, 10 kasus marital rape, 5 kasus hak asuh anak. Sepanjang 2020 81 kasus KDRT yang masuk ke ranah pidana.
“Upaya penyelesaian yang ditempuh yang dipilih korban adalah berpisah, meskipun sebagian ada yang juga melalui mediasi yang melibatkan pemerintah desa atau tokoh agama/masyarakat setempat,” terangnya.
Lain halnya dengan korban kekerasan seksual, pemulihan psikologis yang tidak berbatas waktu karena lukanya seumur hidup dan trauma bisa muncul tiba-tiba sepanjang hidup korban.
Belum lagi korban harus berhadapan dengan stigma yang dilekatkan masyarakat, victim blaming dan masih belum berpihaknya hukum positif yang berlaku di Indonesia.
“Korban kekerasan seksual usia dewasa saat ini masih sangat sulit untuk mengakses layanan hukum. Hal ini menunjukan bahwasanya program perlindungan terhadap perempuan belum sepenuhnya dirasakan korban,” ungkapnya.
Korban penelantaran dalam rumah tangga tidak bisa menuntut pertanggungjawaban pelaku untuk memenuhi kewajibannya, korban terpaksa memilih jalur perdata (cerai gugat) untuk megakhiri kekerasan yang dialami.
Padahal dengan menggugat (rapa) pemenuhan hak-hak perempuan dan anakakan semakin terabaikan.
Berdasarkan catatan refleksi tahun 2020, dapat disimpulkan bahwa kondisi situasi penanganan perempuan korban kekerasan belum maksimal, karena beberapa hal.
Payung hukum yang masih belum cukup melindungi para korban.
Dukungan perangkat dan sarana dan prasarana untuk pemenuhan hak korban masih belum maksimal. Belum adanya layanan satu pintu untuk para korban (korban masih sulit untuk mengakses layanan)
Stigma yang masih diberikan kepada korban, yakni anggapan bahwa korban adalah aib, sehingga mereka memilih untuk menutup kasusnya, dan akhirnya para pelaku banyak yang melenggang bebas tanpa ada sanksi hukum yang dapat membuat mereka jera.
Pihaknya mendorong rekomendasi kepada pemerintah wilayah Ciayumajakuning untuk
optimalisasi sinergi lembaga layanan baik Pemerintah maupun CSO.
Meningkatkan akses layanan korban melalui optimalisasi layanan yang diselenggarakan Kelembagaan di desa sampai kabupaten.
Melibatkan Perempuan dalam setiap program pembangunan Nasional dalam rangka mewujudkan Kebijakan dan anggaran yang responsif Gender.
Support anggaran dalam rangka optimaliasi penanganan perempuan korban kekerasan oleh pemerintah daerah.
“P2TP2A agar lebih bersinergi dengan gugus tugas yang ada dalam melakukan upaya pencegahan dan penangana kasus. Aparat penegak hukum, menyiapkan penyidik perempuan dan berspektif korban sangat dibutuhkan oleh korban,” cetusnya.
Optimalisasi system layanan rujukan terpadu bagi daerah yang sudah membentuknya. Agar DPRD Kabupaten Cirebon memainkan perannya untuk monitoring implementasi perda No 1 tahun 2018 tentang perlindungan, pemberdayaan perempuan dan anak.
“Mendukung dan mendorong lahirnya kebijakan penyelenggaraan perlindungan perempuan dan Anak hingga ke tingkat desa. Dan mendesak pengesahan RUU Penghapusan kekerasan seksual,” tandasnya.(Agus)
Discussion about this post