Sejak diturunkan di pentas bumi, manusia sudah mendapat mandat yang istimewa oleh Sang Maha Pencipta. Yaitu menjadi seorang khalifah atau pemimpin. Yang mampu menjadi sebuah pengubah dunia sekaligus menjadi seorang hamba, pelayan bagi Tuhan.
Manusia adalah mahluk unik. Demikian kata Alex Carrel (1873-1944) salah-satu ilmuwan yang pernah mendapat penghargaan nobel di bidang kedokteran. Pemikiran tentang keunikan manusia ini di abadikan di dalam karyanya yang berjudul Man The Unknown.
Salah satu karya terbaik dari Carrel, yang di dalam tulisannya banyak pertanyaan yang ia jawab tentang manusia yang masih di perdebatkan di kalangan para ilmuwan sendiri. Seiring berkembangnya waktu dan pemikiran manusia, timbul berbagai defenisi tentang arti kata Manusia itu sendiri. Misalnya “hewan cerdas menyusui”, binatang berfikir, mahluk sosial, dan mahluk membaca.
Tapi, semua istilah di atas tidak serta merta mendefenisikan arti manusia seutuhnya, sebab terlalu dangkal jika hanya mengartikannya sesempit itu. Sama halnya dengan ibadah dan agama, manusia yang menjadi pemimpin sekaligus hamba tak akan bisa lepas dari yang namanya ibadah dan agama.
Segala hal yang menuntun seorang hamba mencapi kebahagian dunia dan akhirat disebut dengan agama. Bahkan seorang filsuf jerman Imanuel Kant menyatakan bahwa agama adalah keyakinan bahwa seluruh kewajiban kita bersumber dari Tuhan.
Berbagai macam defenisi dari para filsuf pun semakin memperluas khazanah argumentatif tentang defenisi agama itu sendiri. Namun dewasa sekarang diskusi-diskusi tentang asal dan arti kata agama mulai di persempit oleh oknum-oknum yang menganalogikan agama sebagai suatu prototype Tuhan tuk menghukum hambanya yang berbuat dosa/salah.
Dalam beberapa literatur Islam, manusia sebagai khalifah dibebankan tugas oleh Allah SWT ketika di turunkan di pentas dunia. Bermula dari awal penciptaannya yang terekam di Al-Quran dan tujuan mengapa kita semua di ciptakan.
Dialog antara Tuhan dan malaikat yang bermaksud menyampaikan bahwa Allah akan menciptakan mahluk spesial yang akan di embankan tugas tuk memakmurkan dunia sesuai dengan kehendak-Nya. Sampai dengan proses penyuruhan bersujud malaikat di hadapan manusia yang membuat iblis harus di keluarkan dari Surga. Ia enggan tuk bersujud karena menganggap dirinya yang terbuat dari api lebih baik dari pada manusia yang terbuat dari tanah.
Demikian penolakan yang di sampaikan iblis kepada Sang Khalik yang membuatnya merasakan hukumah dari Tuhan tuk keluar dari Surga dan akan menggoda/menganggu anak cucu Adam hingga hari kiamat kelak.
Pada hakikatnya kita semua memang hanya sebuah tanah yang di beri nyawa dan akal. Tanah yang mudah terbentuk menandakan sifat dinamis dalam diri manusia yang selalu berkembang dan bertumbuh. Tanah yang akan menjadi lunak ketika terkena air dan menghasilkan becek membuktikan sifat lemah manusia yang selalu membutuhkan sandaran akan kahausan batinnya.
Dalam konteks rohani, manusia yang cenderung mempunyai sifat duniawi yang terlalu condong kepada gemerlap dunia suatu waktu akan berada pada satu titik yang membuatnya rindu dengan asal-usul mereka di dunia akhirat, sebab dari sanalah memang kita berasal.
Gemerlap kehidupan yang selalu berbau materialistis selalu berhasil membuat kita terlena dan melupakan tujuan penciptaan kita di pentas dunia ini. Harta benda dan tahta mampu menjadi alat kemudi otomatis di atas kemanusian kita, tak banyak dari kita yang bahkan sampai harus rela mengorbankan kehormatan dan harga diri demi memuaskan hasrat kosumerisme yang sudah berakar lama di pusaran dunia kita.
“Ketersendirian dan perenungan menjadi hal yang langkah bagi kehidupan dewasa ini. Padahal sesungghunya menyendiri dengan diri sendiri dan larut di sudut ketersendirian adalah sebuah kenikmatan yang tidak bisa di utarakan dengan kata-kata, “ tulis Prof Quraish Shihab dalam salah satu karyanya.
Sudah menjadi sebuah realitas hidup baru bahwa manusia dewasa ini terlalu banyak pagi ketimbang senjanya, ‘kebanyakan gairah dan kurang perenungan’ kita terbawa arus bak sebuah daun ketapang yang jatuh di tengah sungai yang deras.
Tak pikir panjang ketika hendak bertindak, tak peduli akan kelangsungan dan keterseimbangan ekosistem, padahal satu-satunya hal yang mampu kita wariskan kepada geneasi penerus, yaitu hanya satu, keindahan dunia ini.
Oleh: Achmad Salim
(Ketua Qohuwa Buntet Pesantren)