KAB CIREBON, (FC).- Di sudut gang sempit Kota Bandung seorang penulis kelahiran Cirebon, menciptakan ruang baru bagi pegiat literasi puisi bernama Rumah Sajak, yang didirikan di Gang Saodah 4.
Rumah Sajak bukan sekadar tempat, melainkan gerakan untuk menumbuhkan minat bakat anak-anak pada seni sastra, khususnya puisi.
Imansyah Firman, penulis dari Cirebon dengan semangat Sajak Urban Culture bertajuk “Puisi Adalah Doa, Doa Adalah Senjata”,
Ia mencoba berusaha mengatasi tantangan di era digital, dimana anak-anak lebih sering terpaku pada gawai ketimbang menggali kreativitas diri mereka dalam literasi.
“Anak-anak saat ini cenderung menjauh dari seni literasi. Rumah Sajak hadir untuk mengembalikan minat mereka, memberikan ruang untuk berkarya, dan mengenal puisi sejak dini,” ujar Imansyah saat di temui di kediamannya di daerah Kedawung, Kabupaten Cirebon, Kamis (23/1)
Meski terbatas pada teras kecil di depan rumahnya, Imansyah menyulap ruang sederhana itu menjadi perpustakaan mini.
Di tempat ini, anak-anak bisa membaca, belajar menulis puisi, hingga berlatih seni emosional dalam membacakannya.
Rumah Sajak juga mengadakan coaching untuk mendukung anak-anak yang ingin berprestasi di ajang-ajang seperti Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) baik tingkat lokal maupun nasional.
“Dengan fasilitas seadanya, kami terus berupaya memberikan yang terbaik. Harapannya, ini bisa menjadi langkah kecil untuk mencetak penulis puisi muda berbakat,” kata Imansyah.
Trilogi Puisi: Kisah Perjalanan Hidup
Saat ditemui sejumlah oleh awak media dalam acara peluncuran buku triloginya yang diterbitkan oleh Alvarendra Global Publisher Bogor, Imansyah berbagi tentang karyanya.
Trilogi tersebut terdiri dari Tarian Bunga Rumput yaitu puisi-puisi bertema keluarga, harapan, dan kisah kehidupan sehari-hari.
Hujan Senjakala adalah sebuah refleksi dari fenomena sosial, alam, dan kegelisahan manusia.
Mimbar Jelaga adalah puisi-puisi spiritual yang mencatat perjalanan hati menuju pasrah dan kedamaian.
“Trilogi ini adalah perjalanan waktu: siang yang penuh semangat, senja yang lelah, dan malam yang menenangkan. Saya ingin pembaca merasakan setiap emosi dan pesan yang tersirat dalam baris-baris puisi ini,” tutur Imansyah.
Lebih dari sekadar karya sastra, hasil penjualan trilogi ini sepenuhnya didedikasikan untuk pengembangan Rumah Sajak.
“Dengan membeli buku ini, pembaca turut berkontribusi mencerdaskan anak-anak bangsa,” tambahnya.
Sajak yang Mengalir dari Hati
Dalam setiap karyanya, Imansyah kerap menyisipkan doa, menjadikan puisi sebagai medium untuk menyampaikan pesan positif.
Inspirasi menulisnya datang dari kehidupan sehari-hari, lingkungan sosial, bahkan perasaan yang mengendap dalam hati.
“Saya menulis sesuai situasi dan kondisi. Kadang ide muncul dari jalanan, isu sosial, atau sekadar mendengar suara hati,” ungkapnya.
Berbekal dukungan keluarga dan sahabat, Imansyah telah menulis ratusan puisi yang terhimpun dalam trilogi maupun antologi bersama penulis lain.
Beberapa karyanya juga menghiasi kolom sastra di media lokal serta sering dibacakan di berbagai acara.
Sebagai penulis yang mengagumi WS. Rendra, Taufik Ismail, dan Sapardi Djoko Damono, Imansyah berharap Rumah Sajak dapat menjadi wadah yang melahirkan generasi baru penulis puisi.
“Saya ingin puisi tetap hidup dan menjadi bagian dari budaya kita terlebih di era gempuran media sosial,” pungkasnya.(Johan)
Discussion about this post