KAB. CIREBON, (FC).- Nilai ekspor dari Kabupaten Cirebon periode Januari hingga November tahun 2022 ini mengalami penurunan dari target yang telah ditentukan. Hal tersebut terjadi karena beberapa faktor.
Analis Perdagangan Ahli Muda Sub Kegiatan Pengembangan Perdagangan Luar Negeri Bidang Perdagangan dan Pengendalian Barang Pokok dan Penting pada Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperdagin) Suherman mengungkapan, penyebab menurunnya nilai ekspor dari Kabupaten Cirebon terjadi akibat adanya penurunan jumlah permintaan dari negara tujuan.
“Faktor krisis ekonomi dunia juga berpengaruh. Selain itu, konflik antara Rusia dengan Ukraina juga turut mempengaruhi. Pengaruh lainnya, terjadi akibat adanya penundaan pengiriman karena banyak buyer di luar negeri yang mengeluhkan kenaikan ongkos pengiriman,” kata Suherman, Rabu (30/11).
Dikatakan Herman sapaan akrabnya, negara tujuan produk ekspor tersebut di antaranya, Korea Selatan, Australia, Spanyol, Rusia, Yordania, Taiwan, Hongkong, Qatar, dan Inggris.
“Nilai ekspor di Kabupaten Cirebon hingga November 2022 ini baru US$363 juta. Sementara tahun lalu di periode yang sama menembus angka US$456 juta dollar.
Menurut Herman, produk ekspor unggulan dari Kabupaten Cirebon yaitu, furnitur bambu, furnitur rotan, keranjang rotan, furnitur kayu olahan, kerajinan kerang, rotan sintetis, furnitur kayu, makaroni, dan briket arang.
Salah seorang perajin rotan di Desa Bode Lor, Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon, Aldi (46) mengatakan, akibat minimnya jumlah permintaan, otomatis berpengaruh terhadap jumlah produksi. Menurutnya, produksi tangan terampil para perajin di Desa Bode Lor sejak lama sudah menyasar pasar Eropa dan Amerika Serikat.
“Setelah kejadian perang Rusia-Ukraina, permintaan menurun. Apalagi sekarang ada klaim produk masyarakat di sini,” kata Aldi.
Aldi mengatakan, sebelum adanya penurunan produksi, setiap bulannya ia mampu mengirim dua kontainer atau 1.120 unit furnitur rotan. Namun, sejak tiga bulan terakhir ini ia hanya mampu memproduksi sebanyak 200 unit furnitur rotan saja. “Waktu masih ramai, setiap bulan mampu mengumpulkan omzet Rp319 juta. Tetapi sekarang, tidak pernah lebih dari Rp100 juta,” kata Aldi.
Aldi mengatakan, pelaku industri rotan di wilayah Desa Bode Lor masih mengandalkan pasar ekspor. Sementara, untuk pasar lokal masih dikuasai oleh industri furnitur jenis lainnya. Menurut Aldi, pemerintah melalui dinas terkait harus melakukan upaya untuk terkait pemasaran hasil produksi para perajin.
“Saat ini para perajin skala kecil hanya mengandalkan para eksportir untuk pemasaran,” ucapnya. (Ghofar)