Oleh: Endang Kurnia
Direktur Madani Private Learning Indramayu
Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung delapan bulan, membawa banyak perubahan dan mengungkap berbagai permasalahan kesehatan yang selama ini belum diketahui. Pademi Covid- 19 membuka mata kita bahwa urusan kesehatan bukanlah hal yang sederhana dan belum dapat terselesaikan sebatas penyediaan fasilitas kesehatan gratis.
Perlu komitmen kuat dari pemerintah dan masyarakat, serta sumbangan pemikiran dari kaum akademisi pada upaya preventif dan promotif. Indonesia sebagai negara dengan kepadatan penduduk nomor tiga di dunia saat ini dituntut untuk dapat membuat strategi yang tepat untuk mengakhiri pandemi ini dengan cepat dan tepat. Riset menunjukkan bahwa kepadatan dan persebaran penduduk serta struktur demografi sangat berpengaruh terhadap kecepatan penyebaran kasus (Nguimken et al, 2020). Faktor lainnya adalah ketersediaan infrastruktur kesehatan dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Kemudahan akses kesehatan yang disertai kesejahteraan sosial dan ekonomi akan menjadi faktor penentu.
Angka penularan virus jelas sangat terkait dengan aspek kependudukan. Faktor demografi dan kepadatan penduduk memiliki asosiasi yang kuat untuk wilayah Asia, sedangkan temperatur dan letak wilayah menjadi faktor risiko geografis untuk beberapa negara yang terletak di belahan utara atau selatan (Sarmadi et al, 2020).
Apabila kita lihat sebaran kasus di Indonesia, maka kondisi kepadatan penduduk maupun arus pergerakan manusia merupakan faktor yang terkait dengan kecepatan penularan virus. Peningkatan kasus ini sangat terlihat pascamobilitas penduduk yang tinggi saat libur panjang nasional. Pemerintah perlu melakukan analisis cermat terhadap struktur demografi hasil sensus 2020 untuk meningkatkan keberhasilan penanganan pandemi. Selain kepadatan penduduk, keberhasilan penanganan Covid- 19 di Indonesia juga dipengaruhi oleh tingkat pemahaman masyarakat terhadap penyebaran penyakit. Maraknya berita ketidakpatuhan penggunaan masker hingga penolakan pemakaman jenazah yang terdiagnosis Covid-19 makin banyak kita baca dan saksikan dari berbagai media.
Pemerintah daerah bahkan harus aktif menggelar operasi yustisi untuk menertibkan masyarakat dalam hal menggunakan masker. Keberadaan gawai dan media sosial pada satu sisi membantu kita dalam menyebarkan informasi. Meskipun demikian, kemudahan dalam menerima informasi yang belum tentu benar akan berpengaruh dalam pengambilan kepuusan untuk hidup sehat.
Hal ini sangat dipengaruhi oleh tingkat health literacy (Haidar et al,2020). Meskipun istilah ini mungkin relatif baru, namun health literacy diakui sebagai salah satu determinan kesehatan dan menjadi salah satu indikator penting penanganan Covid-19 (Abel and Queen,2020). Health literacy secara umum adalah kemampuan untuk mendapatkan, memroses, memahami informasi kesehatan dasar dan pelayanan kesehatan yang bertujuan membuat keputusan kesehatan yang tepat (Nutbeam, 2000, Nutbeam, 2008, Kickbusch and Maag, 2008).
Budaya Membaca
Health literacy tidak dapat kita pisahkan dari budaya membaca masyarakat. Membaca menurut Finochiaro dan Bonomo adalah bringing meaning to and getting meaning from printed or written material bringing meaning to and getting meaning from printed or written material.
Hal ini berarti bahwa memiliki pemahaman atas informasi yang dibaca secara benar merupakan tujuan yang harus dicapai dalam aktivitas pengolahan informasi, agar tidak menjadi :gagal paham:.
Data yang didapat oleh Puspendik Kemdikbud pada tahun 2016 menunjukkan rata-rata distribusi literasi pelajar di Indonesia hanya berkisar 46,83% berada pada kategori kurang (Tahmidaten dan Krisnanto, 2020).
Data lain bahkan sangat kontroversial, yaitu Indonesia hanya menduduki urutan ke-60 dari 61 negara yang berpartisipasi dalam survei Worldís Most Literate Nations (Central Connecticut State University,2017). Studi yang dilakukan tahun 2015-2016 di enam negara Asia menunjukkan bahwa health literacy sangat terkait dengan tingkat pendidikan formal dan status sosial masyarakat (Sorensen et al,2016).
Ketidakpatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan tentu akan sangat terkait dengan tigkat pendidikan dan status sosial yang heterogen pada masyarakat kita. Keterbatasan pembelajaran dengan tatap muka saat pandemi, bila tidak dibarengi dengan kemudahan akses daring, akan berpotensi menghambat informasi positif terkait pencegahan Covid-19. Masyarakat yang melek kesehatan menjadi salah satu faktor yang memengaruhi keberhasilan penanganan Covid-19.
Studi yang dilakukan di beberapa negara telah menunjukkan hal tersebut. Tingginya kematian akibat Covid-19 di AS sangat mungkin terkait dengan prevalensi 24,6% warganya yang berpendapat bahwa mereka memiliki risiko kecil untuk tertular Covid-19 (Benjamin,et al 2020). Hal ini cukup menarik, karena masyaraksat AS sebagian besar memiliki pendidikan yang cukup untuk memahami informasi kesehatan. Sedangkan keberhasilan China dalam menangani pandemi Covid- 19 ternyata tidak hanya berasal dari pengawasan penduduk yang ketat, namun juga tingkat pengetahuan masyarakat yang tinggi tentang penyakit menular hingga mencapai 90% (Duerenberg et al,2020).
Penanganan Covid-19 di Indonesia tampaknya masih akan berlanjut cukup lama, bila dipandang dari aspek kesehatan masyarakat. Perubahan perilaku masyarakat yang dimulai dari peningkatan pengetahuan tentang kesehatan menjadi pekerjaan rumah semua sektor. Kerja sama pemeritah dengan unsur di luar kesehatan seperti pendidikan, kependudukan, organisasi massa, hingga tokoh informal masyarakat sangat diperlukan. Masyarakat yang melek kesehatan adalah salah satu modal pembangunan nasional.