KOTA CIREBON, (FC).- Mahkamah Agung (MA) menolak Peninjauan Kembali (PK) 7 terpidana kasus Vina Cirebon. Keputusan ini disaksikan oleh seluruh keluarga 7 terpidana dan kuasa hukum melalui live streaming di salah satu hotel di Jalan Wahidin Kecamatan Kejaksan Kota Cirebon.
Setelah MA membacakan putusan, seluruh keluarga menangis histeris karena tidak sesuai dengan apa yang diperjuangkan selama ini. Isak tangis tak terbendung hingga kuasa hukum 7 terpidana kasus Vina Jutek Wongso berusaha menenangkan keluarga terpidana.
“Tenang, tenang, bapak ibu sekalian, perjuangan ini belum selesai,” kata salah satu tim kuasa hukum 7 terpidana kasus Vina, Jutek Wongso, Senin (16/12).
Setelah MA membacakan putusan, kuasa hukum Alan melakukan upaya hukum lainnya demi menegakkan keadilan yang dirasa kini tidak berpihak pada keluarga dan 7 terpidana kasus Vina Cirebon.
“Kami tim kuasa hukum sudah sepakat akan melakukan upaya hukum terbuka menurut konstitusi. Kita akan memohon grasi, abolisi dan PK 2. Kita akan lihat pertimbangan-pertimbangan yang besok salinan putusannya kita akan segera urus di Mahkamah Agung. Kita akan lihat apa pertimbangan-pertimbangan majelis dalam menentukan langkah selanjutnya bagi tim hukum,” ujarnya.
Jutek menyatakan, tim kuasa hukum telah bekerja maksimal. Namun, hasil saat ini belum berpihak pada apa yang diharapkan.
“Karena menurut kami apa yang sudah dilakukan oleh tim hukum sudah maksimal. Kita sudah menghasilkan yang terbaik, kalau majelis berpendapat bahwa tidak ada kekeliruan majelis seperti disampaikan silahkan saja,” tuturnya.
Pihaknya memastikan, perjuangan belum berakhir.
“Kami tetap berjuang, tetap berharap dan tetap semangat. Kami tidak berhenti kami akan terus berjuang,” pungkasnya.
Sementara itu kuasa hukum lainnya, Toni menilai, MA telah janggal menolak PK dari tujuh terpidana yang dianggap tidak menemukan kekeliruan dari hakim yang telah memvonis ketujuh terpidana tersebut.
“Saya kaget atas putusan PK tujuh terpidana itu. Saya memperhatikan penjelasan dari pejabat Mahkamah Agung yang menerangkan bahwa penolakan PK dikarenakan Majelis Hakim PK tidak menemukan kekeliruan hakim pada tingkat pengadilan tingkat pertama (yudekfaksi) maupun pada tingkat banding dan tingkat kasasi (judex juris), tidak menemukan kekeliruan hakim dan kekhilafan yang nyata, sehingga menolak PK nya,” ujarnya, Senin (16/12).
Toni mengatakan, MA tidak menemukan novum atau alat bukti baru pada PK ketujuh terpidana itu, padahal para kuasa hukum terpidana telah membawa sejumlah saksi dalam sidang PK yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Cirebon.
“Kemudian, tidak ada novum yang diajukan menurut penjelasan pejabat Mahkamah Agung itu bukanlah bukti baru sebagaimana yang diatur dalam pasal 263 ayat 2 KUHP. Kalau saya perhatikan sebenarnya ada bukti baru yaitu para saksi yang dihadirkan di PK, pada pemeriksaan PK di Cirebon. Dimana saksi itu menerangkan, bahwa pada saat kejadian, mereka bersama terpidana, dan saksi-saksi itu tidak ada di dalam putusan atas nama delapan terpidana,” katanya.
“Kemudian, dalam novum ini ada sebenarnya yang sebagai mana dimaksud dalam pasal 263 itu bukti baru, kan bukti baru itu bisa surat bisa orang (saksi). Ini bukti baru atau alat bukti, saksi pun bisa,” tambahnya.
Lebih lanjut, Toni merasa heran atas keputusan Hakim Agung yang menolak PK ketujuh terpidana tersebut.
“Nah tetapi kalau itu tidak dijadikan, tidak dianggap sebagai novum yang benar-benar baru, yang benar-benar mengetahui dan kesaksian itu dapat meragukan hakim. Saya tidak tahu pikiran Hakim Agung PK ini bagaimana. Kemudian, kekeliruan Hakim atau kekhilafan yang nyata. Saya mengamati putusan delapan terpidana itu dari mulai CCTV yang tidak dibuka, enam handphone yang disita, salah satunya handphonenya Vina, ada kayu (bambu), yang dianggap didakwakan untuk memukul, sperma yang ditemukan di vagina Vina, itu tidak diperiksa sama sekali. Nah dari kejanggalan-kejanggalan itu kalau tetap diputus bersalah itu namanya kekeliruan Hakim, bagaimana pemikirannya,” jelasnya.
Toni menduga, keputusan MA hanya untuk melindungi tiga instansi yang terlibat dalam kasus tersebut, yakni Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan.
“Saya menduga jangan-jangan ini dibuat perimbangan seperti itu, jangan-jangan karena menjaga tiga institusi. Ini pikiran saya ya, saya gak tahu ini kan. Nah tapi kalau dilihat tidak ada kekeliruan, tidak ditemukan kekeliruan, oh saya tidak sependapat,” tegasnya.
Toni meminta para kuasa hukum ketujuh terpidana untuk kembali mengajukan PK agar ketujuh terpidana tersebut biasa bebas dari penjara.
“Kalau jelas pejabat Mahkamah Agung (MA) menerangkan bahwa penolakannya itu bukan karena jangka waktu kadaluarsa, karena tidak ditentukannya kekeliruan Hakim, maka ajukan PK lagi saja. Karena dalam pasal 263 ayat 1 KUHP, tidak diatur harus satu kali, dua kali, atau dibatasi. Hanya di situ, terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana itu bisa mengajukan PK,” tandasnya. (Frans/Agus Sugianto)
Discussion about this post