KAB. CIREBON, (FC).- Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Provinsi Jawa Barat (Jabar), mengharamkan ekspor pasir laut yang menjadi polemik dan tengah ramai diperbincangkan, serta menjadi perdebatan di masyarakat.
Larangan ekspor pasir laut oleh LBM PWNU Jabar itu berdasarkan hasil bahtsul masail di Pondok Pesantren Al-Azhar Miftahul Huda Citangkolo, Kota Banjar, belum lama ini.
Sekretaris LBM PWNU Jabar, Kiai Afif Yahya Aziz menyampaikan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut telah terbit pada Senin (29/5/2023) lalu. Peraturan baru ini juga dinilai “membuka ruang” bagi perusahaan untuk mengekspor pasir laut ke luar negeri jika kebutuhan dalam negeri terpenuhi.
Dengan terbitnya aturan tersebut yang memunculkan polemik di masyarakat, LBM PWNU Jabar Zona 5 yang meliputi Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kota Ciamis, Kabupaten Pangandaran, Kota Banjar menggelar bahtsul masail mengenai hal itu.
Salah satu pertanyaan yang muncul dan dibahas dalam bahtsul masail, kata Kiai Afif, yakni bagaimana hukum pemerintah mengelola sedimentasi di laut sesuai PP Nomor 26 tahun 2023 yang menurut sebagian pihak berpotensi menimbulkan mudarat sebagaimana dalam deskripsi?
“Jawabannya, pengelolaan pemerintah pada sedimentasi di laut untuk keperluan ekspor luar negeri adalah haram,” kata Kiai Afif, Rabu (2/8).
Sedangkan pengelolaan pemerintah untuk keperluan dalam negeri, lanjut kiai asal Kabupaten Cirebon ini, hukumnya diperbolehkan dengan syarat berasaskan pada kemaslahatan umat.
Contohnya, seperti pembersihan penumpukan sedimentasi di laut yang menghalangi lalulintas kapal laut di tepi pantai, sebagai bahan material infrastruktur pemerintah, perluasan area dermaga laut dan pelabuhan, dan dilakukan di lokasi yang jauh dari pemukiman warga.
“Jika pengelolaan sedimentasi yang berefek madharat, maka hukumnya haram, seperti perusakan ekosistem laut, meningkatkan abrasi dan erosi laut, efek banjir pada warga pesisir, hilangnya kepulauan dan lain-lain,” ungkapnya.
Pertanyaan lainnya, dalam bahtsul masail itu, kata dia, yakni, jika ditinjau dari analisa fikih, sebenarnya siapakah pihak yang paling berhak atas pengelolaan sedimentasi di laut? Dan bagaimana batasannya?
“Dan jawabannya, yakni, pihak yang paling berhak mengelola sedimentasi di laut adalah pemerintah. Dengan batasan pengelolaan itu harus berasaskan pada maslahat rakyat,” katanya.
Bahtsul masail yang melibatkan banyak kiai dan pengasuh pondok pesantren sebagai mushohih, perumus dan moderator itu, selain membahas soal polemik ekspor pasir laut, juga membahas soal khutbah politik di tengah acara keagamaan. (rls)
Discussion about this post