KAB. CIREBON, (FC).- Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), resmi diberlakukan per 5 Januari 2024.
Dalam pelaksanaan Undang-undang ini menuai polemik di kota besar hingga ke daerah.
Kalangan dunia usaha hiburan memprotes kenaikan tarif pajak yang melambung tinggi.
Disebutkan Pasal 58 UU No1/2022, khusus tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
Adanya penetapan tarif batas bawah 40 persen dan batas atas 75 persen itu dianggap mengancam keberlangsungan usaha hiburan di tengah kondisi pengunjung yang semakin sepi.
“Pasti menjerit semuanya. Yang di Jakarta saja semua sudah dengar kan bagaimana Inul dan Hotman Paris di Tiktok. Apalagi di kampung begini,” kata Jajat, pengelola karaoke Puri Pesona
“Sejak Covid kita di sini sudah berat. Apalagi ditambah pajak naik ke 40 persen ke 75 bertahap. Rasanya siapapun gak akan ada yang bertahan,” lanjutJajat kepada FC, Rabu (18/1).
Untuk itu, pihaknya memohon kebijakan dari pemerintah daerah untuk menunda dulu dengan melihat kondisi yang ada terkini.
“Karena sekarang ini situasinya memang sudah berat dengan keadaan pasca pandemi, BBM naik turun begini, tamu-tamu hampir tidak ada,” tandasnya.
Menurutnya, kondisi di daerah tidak sama dengan kondisi tempat-tempat hiburan di kota-kota besar seperti di Jakarta.
“Kalau di Jakarta kan kota besar, heterogen. Kalau di sini kan yang mengkonsumsi hiburan kan sudah kelihatan, menengah ke bawah. Mama kuat dengan adanya pajak sampai 40 persen,” ungkapnya.
Menurutnya, kenaikan tarif pajak hampir dua kali lipat dari tarif pajak sebelumnya yaitu 25 persen.
“Jadi sekarang betul-betul sudah berat. Kita mencari tamu satu room saja sudah setengah mati. Lagian juga tidak banyak konsumsinya, beda dengan kota besar,” kata Jajat.
Pihaknya mengaku bingung melakukan langkah untuk menjaga keberlangsungan usaha dengan adanya kenaikan pajak yang tinggi ini.
“Mohon dikaji ulang, karena pelan-pelan pasti berguguran. Karena gak bakal ada yang datang. Sekarang kan dari pelaku usaha juga serba bingung. Mau gimana, sudah mati langkah,” ungkapnya.
Dijelaskan Jajat bahwa tempat-tempat hiburan yang ada di kawasan Gronggong. Kabuoaten Cirebon saat ini hanya tersisa sekitar 3 tempat.
Beberapa sudah gulung tikar lebih dulu. Sepinya pengunjung dinilai tidak sebanding dengan beban biaya operasional. Bahkan nombok.
“Kalau karaoke paling cuma 3. Sekarang saja tetangga kami sudaj 2 yang tutup operasi, saking beratnya.
Sepinya pengunjung mulai dirasakaan sejak bulan Juni, dan puncak sepi pengunjung terjadi bulan November 2023 lalu.
Sebagai gambaran perbandingan, Jajat menjelaskan, saat sebelum pandemi, tingkat keterisian room mencapai 80 persen.
Tapi sejak pandemi hingga melewatinya sekarang, rata-rata okupansinya 10 persen, masih jauh dari kondisi normal sebelum pandemi.
“Kita ini ooerasional bisa bayar listrik, bayar gaji karyawan saja sudah bersyukur, tidak mengharap lebih. Jadi dilematis. Gak dibuka peralatan rusak. Dibuka, subsidi terus. Bayar gaji sampai dicicil,” tandas Jajat. (Andriyana)