KAB. CIREBON, (FC).- Bupati Cirebon, H Imron mengaku tidak mengetahui kalau anggaran yang digunakan untuk relokasi perajin batu alam di Kecamatan Dukupuntang selalu dicoret.
Menurutnya, dengan selalu dicoretnya anggaran untuk relokasi perajin batu alam, pihaknya akan mengkomunikasikan dengan pihak legislatif. Pasalnya, kalau tidak langsung disikapi, maka akan semakin meluas pencemaran lingkungan tersebut.
“Nanti kita komunikasikan dengan dewan, apa sebabnya dicoret, apakah karena tidak ada uangnya atau kenapa,” kata Imron, Rabu (8/3).
Kalau melihat dampaknya, aku Imron memang sesegera mungkin dilakukan relokasi, agar limbahnya dapat tertanggulangi, kalau tidak segera direlokasi maka akan terus menerus merusak alam.
“Secepatnya kita akan komunikasikan dengan dewan. Bila perlu kita akan komunikasi juga dengan pemerintah provinsi,” kata Imron.
Diberitakan sebelumnya, permasalahan limbah batu alam yang ada di Kabupaten Cirebon masih menjadi kendala. Pasalnya hingga kini para pengrajin batu alam masih belum juga direlokasi.
Bahkan dampaknya kini makin dirasakan oleh para petani yang memang dilintasi aliran sungai yang sudah tercemar dari limbah batu alam.
Kepala Bidang Pengendalian Lingkungan dan Penataan Hukum pada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Cirebon, Yuyu Jayudin mengatakan, hingga kini pihaknya masih kesulitan terkait relokasi para pengrajin batu alam. Pasalnya hingga tahun 2023, anggaran untuk relokasi para pengrajin batu alam tidak ada.
“Tahun ini berhenti, karena tidak mendapatkan anggaran,” kata Yuyu Jayudin di ruang kerjanya, Selasa (7/3).
Ia menyebut, setiap tahun telah mengajukan anggaran, tapi selalu tidak dapat. Menurutnya anggaran sangat penting, mengingat permasalahan limbah batu alam di Kabupaten Cirebon belum terselesaikan.
“Kurang lebih menyelesaikan permasalahan itu sesuai dengan DED tahun 2018, kita butuhkan anggaran mencapai Rp34 miliar, tetapi kalau dilaksanakan tahun 2023 ini ya kurang lebih anggaran yang dibutuhkan itu lebih dari Rp40 miliar, soalnya harga bahan baku sudah naik semuanya,” ungkapnya.
Yuyu menjelaskan, permasalahan limbah batu alam memang sangat urgent. Mengingkat, dampak dari limbah air sungai dan lahan pertanian sudah tercemar semakin meluas.
“Kami sudah menyediakan lahan 4,2 hektare untuk relokasi para pengrajin batu alam di Kecamatan Dukupuntang, tatapi untuk pengrajin skala kecil maksimal 2 sampai 3 mesin, sedangkan untuk kapasitas lebih dari 3 mesin suruh membangun sendiri karena dinilai mampu,” katanya.
Selain itu, kata Yuyu, pada 2019, DLH mendapatkan kucuran anggaran sebesar Rp2,5 miliar. Namun, itu terhenti hingga sekarang akibat refocusing anggaran untuk penanganan Covid-19.
Sebelumnya, pihanya telah membuat IPAL Komunal untuk menampung limbah batu alam. Namun, kata Yuyu, hingga kita belum bisa dimanfaatkan.
“Tahun 2018 kami mendapatkan anggaran kurang lebih Rp1 miliar dari Kementrian untuk pembuatan IPAL Komunal di beberapa lokasi untuk pembuatan bata ringgan, tetapi sekarang alhamdullilah bersih karena belum terpakai sama sekali,” bebernya.
Disinggung soal koordinasi dengan Pemkab Majalengka terkait batu alam, ia mengatakan, bahwa dirinya sudah melibat langsung ke lokasi pengrajin batu alam yang ada di Majalengka, namun dengan terkejutnya bahwa mereka rupanya orang Kabupaten Cirebon.
“Saya binggung mereka para perajin orang Kabupaten Cirebon, tetapi lokasinya di Majalengka, kita akan terus koordinasi jangan sampai nanti ke depan wilayah Kabupaten sudah beres, namun dari hilirnya (Majalengka,-red) belum beres,” ungkap Yuyu.
Lebih lanjut, kata Yuyu, para pengrajin batu alam di Kabupaten Cirebon tersebar di beberapa kecamatan, seperti Dukupuntang, Palimanan, Jamblang dan Depok.
“Ada sekitar 80 lebih pengrajin batu alam yang kapasitas kecil mesin maksimal 3, sedangkan untuk kapasitas mesin lebih dari 3 ada 100 lebih pengrajin dan paling banyak di wilayah Kecamatan Dukupuntang,” katanya. (Ghofar)