KAB. CIREBON, (FC).- Film Mantra Surugana tayang serentak di bioskop Tanah Air tanggal mulai 27 Juli 2023.
Film horor ini mengangkat tema dari tanah pasundan yang sarat akan kebudayaan sunda.
Pembuatannya pun membutuhkan proses panjang dengan melibatkan konsultan bahasa dan sejarah sunda kuno.
Sutradara Film Mantra Surugana, Dyan Sunu Prastowo mengatakan, Film Mantra Surugana penuh dengan tantangan.
“Film ini sangat dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari, banyak pelajaran yang bisa kita ambil setelah menonton film ini. Kami berusaha memberikan yang terbaik untuk film horor di Indonesia”, ujar Dyan Sunu usai acara nobar bersama sejumlah pemain Film Mantra Surugana di XXI Ramayana Cirebon, Sabtu (29/7).
Film ini juga memperkenalkan kembali mantra yang memang sudah akrab dalam kehidupan masyarakat Sunda sejak zaman dahulu, dan mengangkat mantra Sunda kuno yang mungkin sebagian orang belum tahu.
Film Mantra Surugana diperankan aktor-aktor muda Indonesia berbakat seperti Sitha Marino, Cindy Nirmala, Fergie Brittany, Shabrina Luna, Rafael Adwel, Dewa Dayana, Yusuf Mahardika.
Film Mantra Surugana, menceritakan tentang bangkitnya sosok iblis lewat mantra dan kutukan yang menghantui Tantri (Sitha Marino) di sebuah asrama dan menemukan hubungan mengerikan dengan mantra dan kutukan di masa lalunya.
Mantra dan kutukan itu membangkitkan Iblis Surugana yang meminta korban nyawa.
“Harapan kita next tidak cuma Jawa Barat, tapi budaya-budaya di Indonesia lainnya bisa terangkat juga.
Sutradara Dyan Sunu menjelaskan, proses penggarapan film Mantra Surugana memakan waktu 6 bulan dengan mengambil lokasi syuting di Ciloto, Cianjur.
Sebelum penggarapan film horor ini, telah dilakukan riset yang mendalam dengan melibatkan seluruh kru dan pemeran film tersebut.
“Kita melalui penelitian melibatkan akademisi yang mendalami Sunda Kuno, namanya Kang Ilham. Dari mulai aksaranya, pelafalannya, semua teman-teman cast juga mengikuti melalui sebuah workshop,” ujarnya.
Alur cerita yang dibuat dalam film ini merupakan merupakan cerita fiksi karya Peregrine Studios bersama Adhya Pictures dan ZK Digimax.
“Ini cerita fiksi original kita, namun mantranya dan surugana itu historinya memang ada. Kita juga sampai riset naskah-naskah daun lontar yang ada di museum nasional segala,” jelasnya.
Film Mantra Surugana, mengangkat Mantra Sunda dalam tradisi naskah lama. Ekspresi mantra diucapkan dalam bahasa Sunda kuno yang digunakan 5 abad silam.
Mantra Sunda dipandang sebagai dokumen dan kearifan lokal budaya Sunda.
Pengamal Mantra atau orang yang mengucapkan dan mengamalkan mantra tersebut menjadi suatu tujuan tertentu, beranggapan bahwa membaca Mantra sama dengan membaca Doa.
Pada dasarnya Mantra adalah ekspresi doa, yang digunakan untuk suatu tujuan baik.
Teks-teks Sunda klasik menyiratkan bahwa umumnya mantra digunakan untuk kebaikan, kesejahteraan, kesuburan dan kedamaian.
Mantra digunakan untuk menolak bala dan mara bahaya dalam upacara ruwatan.
Sejak zaman Sunda kuno, laku ruwatan telah dilakukan untuk membersihkan lahan dari pengaruh buruk makhluk-makhluk jahat dan pengganggu, antara lain Udubasu, Kalabuat, Pulunggana, dan Surugana.
Tapi ada juga yang menggunakannya untuk tujuan jahat untuk mencelakakan manusia.
Seiring berkembangnya kebudayaan Sunda, mantra bertransformasi dalam setiap zaman dan tetap eksis hingga saat ini di tengah masyarakat Sunda.
Rajah, jangjawokan, asihan, adalah sebagian bentuk lain dari ungkapan mantra yang mengikuti konteks penyesuaian zaman dan penggunaannya di masyarakat.
Antara lain dalam bentuk ungkapan bahasa, istilah, dan unsur kesakralannya.
Namun selalu ada benang merah yang terbentang dari masa lalu hingga masa kini.
Kajian struktur dan makna mantra telah mampu menguak eksistensi dan fungsi Mantra dalam upaya mengungkap baik dan buruknya penggunaan Mantra.
Mantra layak disikapi secara bijak agar Pengamal dan masyarakat awam dapat hidup berdampingan, selaras dan harmonis “Mantra Menjadi Bagian Dalam Kehidupan Masyarakat Sunda”.
Naskah-naskah Sunda Buhun ‘Kuno’ termasuk salah satu unsur budaya yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial budaya masyarakat yang melahirkan dan mendukungnya, yang tertulis pada daun gebang, lontar, gebang, belahan bambu, dan kulit kayu (daluang).
Secara umum isinya mengungkapkan peristiwa masa lampau yang menyiratkan aspek kehidupan masyarakat, terutama aspek sosial dan budaya. (Andriyana)