KUNINGAN, (FC).- Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor 139/PMK.07/2019 tentang Pengelolaan Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Otonomi Khusus menyebutkan bahwa DAU adalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Masih di PMK yang sama, disebutkan bahwa kebutuhan DAU setiap daerah disusun dengan memperhatikan perkiraan celah fiskal per daerah secara nasional, kebutuhan pendanaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah yang meliputi pendanaan pegawai, belanja operasional, dan layanan publik, perkiraan DAU dalam tiga tahun terakhir, dan perkiraan penerimaan dalam negeri neto.
Ketua LSM Frontal Kuningan, Uha Juhana menyampaikan disaat pemerintah daerah (Pemda) terus berupaya untuk menata pengelolaan keuangan daerah dan mengoptimalkan kapasitas fiskalnya, muncul kebijakan baru pada tahun anggaran 2023 yaitu bagian DAU yang ditentukan penggunaannya.
“Sebelum tahun anggaran 2023, penyaluran DAU kepada pemerintah daerah dilaksanakan setiap bulan sebesar 1/12 dari pagu alokasi yang diterima tiap-tiap Pemda Provinsi/Kabupaten/Kota. Dengan demikian pada posisi saat itu Pemerintah Daerah dapat “bermanuver” menggunakan DAU untuk prioritas, kebutuhan, serta program-program daerah yang mengarah pada optimalisasi pelayanan kepada masyarakat tanpa adanya spesifikasi alokasi dari DAU tersebut terhadap bidang-bidang tertentu. Hal tersebut membuat pemerintah daerah dapat dengan leluasa dan fleksibel mengelola DAU dalam rangka desentralisasi dan otonomi daerah,” jelas Uha.
Sebelum memasuki Tahun Anggaran 2023, lanjut Uha, terbit Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 211/PMK.07/2022 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.07/2019 tentang Pengelolaan Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Otonomi Khusus. Pasal 38A ayat 1 PMK tersebut berbunyi bahwa alokasi DAU setiap daerah terdiri atas bagian DAU yang tidak ditentukan penggunaannya dan bagian DAU yang ditentukan penggunaannya.
“Tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintah daerah cukup terkejut terhadap “barang” baru ini. Bagaimana dengan DAU yang ditentukan penggunaannya? DAU yang ditentukan penggunaannya atau dikenal dengan istilah Specific Grant atau DAU earmarked adalah bagian DAU yang diberikan kepada pemerintah daerah yang khusus digunakan untuk membiayai penggajian formasi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), pendanaan kelurahan, bidang pendidikan, bidang kesehatan, dan bidang pekerjaan umum. Dalam arti lain DAU yang ditentukan penggunaannya tidak dapat digunakan untuk membiayai kegiatan dan/atau program daerah di luar bidang-bidang yang telah ditentukan oleh PMK tersebut,” ungkap Uha.
Munculnya DAU yang ditentukan penggunaannya tersebut, disampaikan Uha, merupakan “barang” baru yang harus dikelola dan dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah. DAU yang ditentukan penggunaannya tersebut berbeda dengan DAU Block Grant. DAU yang ditentukan penggunaannya disalurkan secara bertahap.
“Disini, pemerintah daerah wajib memenuhi prasyarat di tiap tahapnya sesuai PMK Nomor 211/PMK.07/2022 sebelum disalurkan dari Rekening Kas Umum Negara (RKUN) lalu baru ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD),” kata Uha.
Disebutkan Uha, DAU yang ditentukan penggunaannya untuk Bidang Pendidikan, Bidang Kesehatan, dan Bidang Pekerjaan Umum sudah ditentukan kegiatan dan sub kegiatan prioritas serta kegiatan dan sub kegiatan pendukung sebagaimana tercantum dalam PMK Nomor 212/PMK.07/2022. Dengan kata lain DAU yang ditentukan penggunaannya tidak dapat digunakan untuk membiayai selain kegiatan dan sub kegiatan yang telah diatur dalam PMK Nomor 212/PMK.07/2022.
“Akibatnya, daerah-daerah yang masih mengandalkan pendapatan dari dana perimbangan tidak sepenuhnya dapat menggunakan DAU untuk kebutuhan dan program daerah seperti alokasi DAU sebelum Tahun Anggaran 2023 yang bisa digunakan secara fleksibel oleh Pemerintah Daerah untuk menjalankan kegiatan prioritas daerah,” jelas Uha.
Uha menyebtukan, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Luky Alfirman mencatat bahwa daerah yang menggunakan DAU untuk belanja pegawai mencapai 64,8 persen dari total porsi dana yang didapat dari pemerintah pusat. Sementara rata-rata dominasi belanja pegawai dari total belanja pemda berkisar 32,4 persen. Ironisnya belanja infrastruktur hanya sepertiganya, yakni sekitar 11,5 persen.
Dalam isi Buku Alokasi dan Rangkuman Kebijakan Transfer ke Daerah Tahun Anggaran 2024 dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia untuk Provinsi Jawa Barat yang ditanda tangani pada tanggal 22 November 2023 oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Uha menyebutkan, untuk Kabupaten Kuningan mendapatkan transfer daerah sebesar total Rp 2.238.575.384.
Didalamnya terdapat alokasi anggaran untuk Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp 1.195.758.513.000 yang dibagi dua ketentuannya menjadi DAU tidak ditentukan penggunaannya Rp 1.101.093.089.000, dan DAU ditentukan penggunaannya Rp 94.665.424.000 dialokasikan untuk belanja.
Belanja dimaksud, lanjut Uha, yaitu, Penggajian Formasi PPPK Rp. 1.072.467.000,Pendanaan Kelurahan Rp 3.000.000.000,Bidang Pendidikan Rp 46.440.714.000,Bidang Kesehatan Rp 25.126.648.000, dan Bidang Pekerjaan Umum Rp 19.025.595.000.
“Aneh bin ajaibnya pada saat dilakukan konfirmasi kepada pihak SKPD yang bersangkutan mulai dari Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas PUTR dan Pimpinan DPRD Kuningan tidak ada seorangpun yang mengetahui anggaran tersebut dan dipakai untuk apa saja penggunaannya. Mereka semua kompak menunjuk hidung bahwa hanya pimpinan daerah dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang mengetahui dan membahasnya,” kata Uha.
Padahal kita semua tahu, masih Uha, bahwa proses dalam penetapan serta pengesahan APBD itu harus berdasarkan hasil pembahasan dan persetujuan bersama antara pihak Pemerintah Daerah dengan DPRD Kuningan. Apalagi didapati adanya anomali di era kepemimpinan Pj. Bupati Kuningan sekarang, dimana dalam pembahasan APBD untuk internal, ternyata diluar TAPD yang resmi mereka membentuk sendiri Panitia Ad Hoc atau dikenal dengan istilah nama Tim 9. Dimotori oleh Asda II dan secara teknis bekerjanya seperti negara dalam negara.
“Ini tentu sebuah bukti pahit bagaimana anggaran itu semestinya dapat dipakai untuk pelaksanaan kegiatan yang digunakan untuk memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) kepada masyarakat serta pembangunan infrastruktur di daerah tidak bisa dieksekusi karena kesalahan fatal kebijakan politik anggaran dari pimpinan daerah dan TAPD yang diduga “memainkan” dana tersebut untuk kepentingan sesaat atau jadi bancakan,” kata Uha. (Ali)
Discussion about this post